Minggu, 08 November 2015

CERITA SANG WUKU WATUGUNUNG


WUKU WATUGUNUNG


Sabtu Umanis Wuku Watugunung sebagai Hari Suci Sarasawati. 

    Hari suci Wuku Watugunung ini didasarkan oleh suatu Epos dan Ethos, sehingga dapat mempersonifikasikan suatu karakter yang keras, didukung juga dengan kesaksian yang dimiliki. 
Dikisahkan Sang Watugunung adalah seorang anak dari kerajaan Sinta yang rajanya bernama Dewi Sinta, pada suatu hari karena saking nakalnya Sang Watugunung mengakibatkan ibunya marah dan dipukullah kepalanya. Kemudian Sang Watugunung minggat dari rumah, menuju ke Gunung setelah beberapa tahun, maka turunlah Bethara Brahma memberikan panugrahan kesaktian kepadanya.
    Diceritakan dikemudian hari Sang Watugunung membuat kerajaan yang bernama kerajaan Watugunung, dan dengan kesaktiannya itulah Sang Watugunung mulai menaklukkan kerajaan-kerajaan lainnya seperti, Kerajaan LANDEP, Ukir, Kulantir sampai dua puluh sembilan kerajaan termasuk kerajaan Sinta. Karena sama-sama tidak mengetahui diantara Ibu dan Anak, maka diambillah Sang Dewi Sinta sebagai istri oelh Sang WATUGUNUNG. Lama- kelamaan Sang Dewi Sinta mengetahui bahwa, suaminya itu adalah anaknya sendiri, tercenganglah hatinya Dewi Sinta, kemudian Dewi Sinta membuat daya upaya agar bisa berpisah dengananaknya maka Dewi Sinta mengaku telah mengalami proses ngidam, dan yang diidamkan adalah agar Sang Watugunung mau melamar istri Bethara Wisnu, serta menyuntingnya sebagai istri Watugunung.
    Tidak lama kemudian Sang Watugunung pergi ke Wisnu Loka, untuk memohon kehadapan Bethara Wisnu agar diperkenankan menyunting istrinya beliau dengan alasan bahwa istrinya, yakni Dewi Sinta sedang ngidam dan mengidamkan istri Bethara Wisnu sebagai madunya. Akhirnya Bethara Wisnu menjadi murka, maka terjadilah peperangan yang hebat antara Sang Watugunung dengan Bethara Wisnu, kelihatan dalam peperangan tersebut tidak ada yang kalah, sama-sama saktinya.
    Kemudian Bethara Wisnu memohon petunjuk kepada Begawan Sukra, bagaimana cara mengalahkan Sang Watugunung, oleh karena demikian, Begawan Sukra mengutus muridnya yang bernama Begawan LUMANGLANG, untuk mengintai percakapan Sang Watugunung dengan istrinya tentang siapa yang dapat mengalahkan dirinya.
Selanjutnya Begawan Lumanglang melaksanakan tugas dengan merubah dirinya menjadi seekor laba-laba. Akhirnya Begawan Lumanglang mendapatkan rahasia kelemahan Sang Watugunung bahwa, dia dapat dikalahkan oleh kekuatan Wisnu dengan bentuk seekor. “KURMA” ( Penyu ).
    Dengan demikian datanglah Begawan Lumanglang kehadapan Bethara Wisnu untuk melaporkan hasil intaiannya. Akhirnya Bethara Wisnu menantang lagi Sang Watugunung untuk berperang lagi, dan dikisahkan dalam peperangan tersebut Bethara Wisnu berubah menjadi seekor KURMA, maka rubuhlah Sang Watugunung dan jatuh ke bumi pada hari, MINGGU – KLIWON – WUKU WATUGUNUNG, disebutlah hari “Watugunung Runtuh” atau Kajeng Kliwon Pemelas Tali. 
    Sang Watugunung mengaku kalah kepada Bethara Wisnu, dan dia memohon kehadapan Bethara Wisnu bahwa kalau dia jatuh di tengah samudra, mohon diberikan matahari terik agar dia tidak kedinginan, dan bila dia jatuh didaratan, 
mohon diberikan hujan agar dia tidak kepanasan. Berdasarkan isi Epos tersebut maka para orang tua semeton Rare Angon Nak Bali Belog sejak dahulu kala memberikan pengetahuan Agama bahwa kalau pada Wuku Watugunung tidak ada 
hujan berarti Sang Watugunung jatuh ditengah Samudra, demikian sebaliknya. 
       Pada keesokan harinya, yaitu pada hari Senin – Umanis – Wuku Watugunung, disebut hari ” CANDUNG WATANG “, karena Sang Watugunung meninggal dunia pada hari itu, besoknya pada hari Selasa – Pahing – Wuku Watugunung, mayat Sang Watugunung diseret-seret, sehingga disebutlah pada hari itu hari “ PAID-PAIDAN “. Keesokan harinya pada hari Rabu – Pon – Wuku Watugunung Sang Watugunung siuman ( sadarkan diri ) kemudian dilihat hidup oelh Bethara Wisnu, Sang Watugunung dibunuh kembali, maka hari itu disebut hari , ” BUDHA URIP ” atau ” URIP AKEJEP “. 
    Melihat dari keadaan demikian maka Sang Sapta Rsi merasa kasihan kepada Sang Watugunung, dan Beliau kompromi untuk menghidupkan lagi Sang Watugunung, secara bergantian Beliau menghidupkan (nguripang) dan bagian yang pertama adalah Begawan Redite, menghidupkan dengan cara mengucapkan japa mantranya sampai lima kali, baru hidup. Setelah hidup, lagi dibunuh oleh Bethara Wisnu, selanjutnya Begawan Soma menghidupkan dengan mengucapkan mantra sampai empat kali baru hidup, dibunuh lagi oleh Bethara Wisnu, kemudian Begawan Anggara menghidupkan dengan ucapan mantra sebanyak tiga kali, dibunuh lagi, selanjutnya Begawan Budha yang menghidupkan dengan ucapan mantra sebanyak tujuh kali, dibunuh lagi oleh Bethara Wisnu, akhirnya datang Begawan Wrespati untuk mengucapkan mantra pengurip sebanyak delapan kali, dibunuh juga oleh Bethara Wisnu.Yang terakhir datanglah Begawan Sukra menghadapa kehadapan Bethara Wisnu serta memohon kepada Beliau agar tidak melakukan perbuatan ” HIMSA KARMA “, karena Beliau adalah seorang Dewa, harus mau mengampuni dan tetap memberikan sinar welas asihnya kepada semua insan di Alam Semesta ini. Atas nasehat Begawan Sukra demikian, maka Bethara Wisnu menyadari bahwa manusia memiliki kemampuan yang terbatas, oleh karena itu dianugrahkanlah Begawan Sukra untuk menghidupkan Sang Watugunung selamanya, kemudian Begawan Sukra mengucapkan mantra pengurip sebanyak enam kali, maka hiduplah kembali Sang Watugunung, dan hari itu disebut ” URIP KULANTAS “, jatuh pada hari Kamis – Wage – Wuku Watugunung.
       Dari saat itulah kesombongan Sang Watugunung mulai pudar, serta mulai bertobat pada dirinya untuk selama- lamanya. Pada keesokan harinya, pada hari Jumat – Keliwon - Wuku Watugunung Sang Watugunung mulai menyucikan diri, melaksanakan Tapa, Brata, Yoga, Samadhi untuk memohon pengampunan, dan memohon kepradnyanan kehadapan Sang Hyang Widhi serta hari itu disebut dengan ” PENGEREDANAN “. Karena teguhnya Sang Watugunung melaksanakan Tapa bratanya, maka keesokan harinya yaitu pada hari Sabtu – Umanis – Wuku Watugunung, dianugrahkan Ilmu Pengetahuan oleh Sang Hyang Widhi, maka pada hari itu disebut dengan HARI SUCI SARASWATI “. Semeton Rare Angon Nak Bali Belog, Saraswati berasal dari suku kata ” SARA _ SU _ WATI “, Suku kata SARA dapat diartikan PANAH dan kata panah berasal dari kata ” BANA “, kemudian menjadi kata ” BANAH “, yang dapat diberikan arti , ” KETAJAMAN ADNYANA ” atau KECERDASAN ( Kamus- Bali- Kawi ). Suku kata ” SU ” mengandung arti ” LUWIH ” dan suku kata ” WATI ” dapat diartikan ” AYU “. Dengan demikian makna dari hari Suci Saraswati adalah ” AMOLIHAKEPRADNYANAN SANE MAUTAMA, PACANG ANGGEN NGEMOLIHANG KASUKERTHAN “.

            Maksudnya dengan dianugrahkan kecerdasan oleh Sang Hyang Widhi, maka manusia tersebut akan mampu menolong dirinya sendiri, dari lembah kesengsaraan serta berwawasan kebijaksanaan sehingga mampu memilah-milah mana yang benar dan tidak benar, diantara kebajikan dan keburukan.

Adapun nama wuku-wuku yang dimaksud adalah:
1. Sinta,11. Galungan,21. Matal,
2. Landep,12. Kuningan,22. Wuje,
3. Ukir-,13. Langkir23. Manail,
4. Kurantil,14. Mandasiya,24. Prangbakat,
5. Tolu,15. Julungpujut,25. Bala,
6. Gumbreg,16. Pahang,26. Ugu,
7. Wariga,17. Kuruwelut,27. Wayang,
8. Warigadian18. Marakeh,28. Kulawu,
9. Julungwangi,19. Tambir,29. Dhukut,
10. Sungsang,20. Madangkungan,30. Watugunung.
Adapun Dewa-dewa ketigapuluh wuku itu adalah:
1. Yamadipati,11. Kamajaya,21. Sakri,
2. Mahadewa12. Endra,22. Kuwera,
3. Mahayekti,13. Barawa (Kala),23. Citragotra,
4. Langsur,14. Brama,24. Resi Bisma,
5. Bayu,15. Guritna,25. Betari Durga,
6. Cakra,16. Tantra,26. Singajalma,
7. Asmara,17. Wisnu,27. Betari Sri,
8. Mahayekti,18. Surengga28. Betara Sadana,
9. Sambu,19. Siwah,29. Sakri,
10. Gana,20. Basuki,30. Sang Hyang Antaboga dan Dewi Nagagini,

Jumat, 30 Oktober 2015

TUJUAAN dan MAKNA PENGABENAN bagi UMAT HINDHU




Upacara Ngaben di Ubud
Ngaben merupakan salah satu upacara yang dilakukan oleh Umat Hindu di Bali yang tergolong upacara Pitra Yadnya (upacara yang ditunjukkan kepada Leluhur). Ngaben secara etimologis berasal dari kata api yang mendapat awalan nga, dan akhiran an, sehingga menjadi ngapian, yang disandikan menjadi ngapen yang lama kelamaan terjadi pergeseran kata menjadi ngaben. Upacara Ngaben selalu melibatkan api, api yang digunakan ada 2, yaitu berupa api konkret (api sebenarnya) dan api abstrak (api yang berasal dari Puja Mantra Pendeta yang memimpin upacara). Versi lain mengatakan bahwa ngaben berasal dari kata beya yang artinya bekal, sehingga ngaben juga berarti upacara memberi bekal kepada Leluhur untuk perjalannya ke Sunia Loka

Daftar isi

  • Bentuk-bentuk Upacara Ngaben
    • Ngaben Sawa Wedana
      • Ngaben Asti Wedana
        • Swasta
          • Ngelungah
            • Warak Kruron
            • Tujuan Upacara Ngaben
              • Rangkaian Upacara Ngaben

                Bentuk-bentuk Upacara NgabenSunting

                Ngaben Sawa WedanaSunting

                Sawa Wedana adalah upacara ngaben dengan melibatkan jenazah yang masih utuh (tanpa dikubur terlebih dahulu) . Biasanya upacara ini dilaksanakan dalam kurun waktu 3-7 hari terhitung dari hari meninggalnya orang tersebut. Pengecualian biasa terjadi pada upacara dengan skala Utama, yang persiapannya bisa berlangsung hingga sebulan. Sementara pihak keluarga mempersiapkan segala sesuatu untuk upacara maka jenazah akan diletakkan di balai adat yang ada di masing-masing rumah dengan pemberian ramuan tertentu untuk memperlambat pembusukan jenazah. Dewasa ini pemberian ramuan sering digantikan dengan penggunaan formalin. Selama jenazah masih ditaruh di balai adat, pihak keluarga masih memperlakukan jenazahnya seperti selayaknya masih hidup, seperti membawakan kopi, memberi makan disamping jenazah, membawakan handuk dan pakaian, dll sebab sebelum diadakan upacara yang disebut Papegatan maka yang bersangkutan dianggap hanya tidur dan masih berada dilingkungan keluarganya.

                Ngaben Asti WedanaSunting

                Asti Wedana adalah upacara ngaben yang melibatkan kerangka jenazah yang telah pernah dikubur. Upacara ini disertai dengan upacara ngagah, yaitu upacara menggali kembali kuburan dari orang yang bersangkutan untuk kemudian mengupacarai tulang belulang yang tersisa. Hal ini dilakukan sesuai tradisi dan aturan desa setempat, misalnya ada upacara tertentu dimana masyarakat desa tidak diperkenankan melaksanakan upacara kematian dan upacara pernikahan maka jenazah akan dikuburkan di kuburan setempat yang disebut dengan upacara Makingsan ring Pertiwi ( Menitipkan di Ibu Pertiwi).

                SwastaSunting

                Swasta adalah upacara ngaben tanpa memperlibatkan jenazah maupun kerangka mayat, hal ini biasanya dilakukan karena beberapa hal, seperti : meninggal di luar negeri atau tempat jauh, jenazah tidak ditemukan, dll. Pada upacara ini jenazah biasanya disimbolkan dengan kayu cendana (pengawak) yang dilukis dan diisi aksara magis sebagai badan kasar dari atma orang yang bersangkutan.

                NgelungahSunting

                Ngelungah adalah upacara untuk anak yang belum tanggal gigi.

                Warak KruronSunting

                Warak Kruron adalah upacara untuk bayi yang keguguran.

                Tujuan Upacara NgabenSunting

                Upacara ngaben secara konsepsional memiliki makna dan tujuan sebagai berikut :
                1. Dengan membakar jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut memiliki makna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam)
                2. Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka Bagian Panca Maha Bhuta yaitu : a. Pertiwi : unsur padat yang membentuk tulang, daging, kuku, dll b. Apah: unsur cair yang membentuk darah, air liur, air mata, dll c. Bayu : unsur udara yang membentuk nafas. d. Teja : unsur panas yang membentuk suhu tubuh. e. Akasa : unsur ether yang membentuk rongga dalam tubuh.
                3. Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan kepergian yang bersangkutan.

                Rangkaian Upacara NgabenSunting

                AcaraDeskripsi
                NgulapinUpacara untuk memanggil Sang Atma. Upacara ini juga dilaksanakan apabila yang bersangkutan meninggal di luar rumah yang bersangkutan (misalnya di Rumah Sakit, dll). Upacara ini dapat berbeda-beda tergantung tata cara dan tradisi setempat, ada yang melaksanakan di perempatan jalan, pertigaan jalan, dan kuburan setempat.
                Nyiramin/NgemandusinUpacara memandikan dan membersihkan jenazah yang biasa dilakukan di halaman rumah keluarga yang bersangkutan (natah). Prosesi ini juga disertai dengan pemberian simbol-simbol seperti bunga melati di rongga hidung, belahan kaca di atas mata, daun intaran di alis, dan perlengkapan lainnya dengan tujuan mengembalikan kembali fungsi-fungsi dari bagian tubuh yang tidak digunakan ke asalnya, serta apabila roh mendiang mengalami reinkarnasi kembali agar dianugrahi badan yang lengkap (tidak cacat).
                Ngajum KajangKajang adalah selembar kertas putih yang ditulisi dengan aksara-aksara magis oleh pemangku, pendeta atau tetua adat setempat. Setelah selesai ditulis maka para kerabat dan keturunan dari yang bersangkutan akan melaksanakan upacara ngajum kajang dengan cara menekan kajang itu sebanyak 3x, sebagai simbol kemantapan hati para kerabat melepas kepergian mendiang dan menyatukan hati para kerabat sehingga mendiang dapat dengan cepat melakukan perjalanannya ke alam selanjutnya.

                Gambar Kajang Pande
                NgaskaraNgaskara bermakna penyucian roh mendiang. Penyucian ini dilakukan dengan tujuan agar roh yang bersangkutan dapat bersatu dengan Tuhan dan bisa menjadi pembimbing kerabatnya yang masih hidup di dunia.
                MamerasMameras berasal dari kata peras yang artinya berhasil, sukses, atau selesai. Upacara ini dilaksanakan apabila mendiang sudah memiliki cucu, karena menurut keyakinan cucu tersebutlah yang akan menuntun jalannya mendiang melalui doa dan karma baik yang mereka lakukan.
                PapegatanPapegatan berasal dari kata pegat, yang artinya putus, makna upacara ini adalah untuk memutuskan hubungan duniawi dan cinta dari kerabat mendiang, sebab kedua hal tersebut akan menghalangi perjalan sang roh menuju Tuhan. Dengan upacara ini pihak keluarga berarti telah secara ikhlas melepas kepergian mendiang ke tempat yang lebih baik. Sarana dari upacara ini adalah sesaji (banten) yang disusun pada sebuah lesung batu dan diatasnya diisi dua cabang pohon dadap yang dibentuk seperti gawang dan dibentangkan benang putih pada kedua cabang pohon tersebut. Nantinya benang ini akan diterebos oleh kerabat dan pengusung jenazah sebelum keluar rumah hingga putus.
                Pakiriman NgutangSetelah upacara papegatan maka akan dilanjutkan dengan pakiriminan ke kuburan setempat, jenazah beserta kajangnya kemudian dinaikan ke atas Bade/Wadah, yaitu menara pengusung jenazah (hal ini tidak mutlak harus ada, dapat diganti dengan keranda biasa yang disebut Pepaga). Dari rumah yang bersangkutan anggota masyarakat akan mengusung semua perlengkapan upacara beserta jenazah diiringi oleh suara Baleganjur (gong khas Bali) yang bertalu-talu dan bersemangat, atau suara angklung yang terkesan sedih. Di perjalan menuju kuburan jenazah ini akan diarak berputar 3x berlawanan arah jarum jam yang bermakna sebagai simbol mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta ke tempatnya masing-masing. Selain itu perputaran ini juga bermakna:
                Berputar 3x di depan rumah mendiang sebagai simbol perpisahan dengan sanak keluarga. Berputar 3x di perempatan dan pertigaan desa sebagai simbol perpisahan dengan lingkungan masyarakat.
                Berputar 3x di muka kuburan sebagai simbol perpisahan dengan dunia ini.

                Sarana Pengusungan Jenazah
                NgisingNgising adalah upacara pembakaran jenazah tersebut, jenazah dibaringkan di tempat yang telah disediakan , disertai sesaji dan banten dengan makna filosofis sendiri, kemudian diperciki oleh pendeta yang memimpin upacara dengan Tirta Pangentas yang bertindak sebagai api abstrak diiringi dengan Puja Mantra dari pendeta, setelah selesai kemudian barulah jenazah dibakar hingga hangus, tulang-tulang hasil pembakaran kemudian digilas dan dirangkai lagi dalam buah kelapa gading yang telah dikeluarkan airnya.
                NganyudNganyud bermakna sebagai ritual untuk menghanyutkan segala kekotoran yang masih tertinggal dalam roh mendiang dengan simbolisasi berupa menghanyutkan abu jenazah. Upacara ini biasanya dilaksakan di laut, atau sungai.
                MakeludMakelud biasanya dilaksanakan 12 hari setelah upacara pembakaran jenazah. Makna upacara makelud ini adalah membersihkan dan menyucikan kembali lingkungan keluarga akibat kesedihan yang melanda keluarga yang ditinggalkan. Filosofis 12 hari kesedihan ini diambil dari Wiracarita Mahabharata, saat Sang Pandawa mengalami masa hukuman 12 tahun di tengah hutan.

                Kamis, 03 September 2015

                TRI DATU dalam Kehidupan AGAMA HINDHU dan SEJARAHnya

                        
                BENANG TRI DATU



                      Gelang Tridatu secara filosofis merupakan warna yang mewakili aspek ketuhanan,

                       Merah sebagai warna Dewa Brahma,
                       Putih sebagai warna Dewa Iswara/Siwa, dan
                       Hitam sebagai warna Dewa Wisnu.

                Sekaligus mengingtakan tentang proses kehidupan yang diwakili dari tiga dewa tersebut (Tri Murti),

                                  Brahma-Uthpti/penciptaan,
                                  Wisnu-Sthiti/Pemeliharaan dan
                                  Siwa-Pralina/Peleburan.

                Dalam konteks keberaksaraan juga diwakili dengan :

                             Ang
                             Ung
                             Mang
                   Pada Akhirnya kesatuan dari ketiganya adalah
                "Omkara
                " atau Hyang Widhi/Brahman itu sendiri.
                               Apabila dirujuk lebih jauh, konsepsi ketuhanan ‘Ekatva Anekatva Svalaksana Bhatara (Hyang Widhi adalah satu dalam yg banyak dan banyak dalam yang Satu)’. Warna-warna yang mewakili Dewa-dewa Hindu terpapar dalam konsep Dewata Nawa Sangga dan sekaligus karakter dari warna tersebut,
                        Yaitu :
                               1. Iswara : Putih (Suka sugih tur Rahayu, dana Punia Sthiti Bhakti) .
                               2. Mahesora : Merah Muda (Widagda sira ring Niti, Subhaga sirang Bhuana)
                               3. Brahma : Merah (Sampurna tur Dirghayusa, pradnyan maring Tattwa Aji)
                              4. Rudra : Jingga (Dharma Sira tur susila jana nuraga ring Bhumi)
                              5. Mahadewa : Kuning (Tut sira sura ring rana, prajurit watek mangaji)
                              6. Sangkara : Hijau (Teleb ring tapa brata, gorawa satya ring budhi)
                              7. Wisnu : Hitam (Sudira suci laksana, surupa lan sadhu jati)
                              8. Swayambhu : Biru (Paripurna santha Dharma, sudha,sidhi sihing warga)
                              9. Siwa : Pancawarna (Gung prabhawa sulaksana. Satya brata tapa samadhi)
                        Penggunaan gelang tridatu yang mulai demikian memasyarakat di kalangan umat Hindu, tentu saja secara sosial bisa menjadi Identitas kehinduan, sekaligus secara religius bisa menjadi media untuk selalu eling atau ingat akan Hyang widhi. Sekaligus mengingat siklus kehidupan di dunia ini, Lahi-Hidup-Mati. Sepertihalnya sabda kitab suci ‘Prasantha manasam hy enam, yoginam sukham utamam’ Artinya orang yang yakin dan selalu ingat memusatkan diri pada Hyang Widhi akan mendapatkan ketenangan bathin.
                Mantra Puja Trimurti :
                               "Om Brahma wisnu Iswara dewam,
                                Jiwatmanam trilokanam,
                                sarwa jagat pratistanam,
                               sudha klesa winasanam"
                               Berati kita harus selalu menciptakan kebaikan darma, kemudian memelihara(wisnu) mengandung maksud kita akan selalu diingatkan untuk selalu memelihara kebajikan/darma dan terklahir pralina(siwa) kita harus mau menghilangkan rasa ketidak baikan /adarma. itulah salah satu kegunaan pemakain gelang benang TRIDATU.

                Sejarah Gelang Benang Tridatu

                             Sejarah tentang gelang benang Tridatu berawal pada abad 14-15 ketika Dalem Watu Renggong menjadi raja di Bali, akhirnya Patih Jelantik diutus untuk menundukkan Dalem Bungkut(putra raja Bedaulu). Dan ketika Patih Jelantik berhasil menaklukkan Dalem Bungkut, terciptalah sebuah kesepakatan bahwa kekuasaan Nusa diserahkan kepada Dalem Watu Renggong(Bali) begitu pula rencang dan ancangan Beliau (Ratu Gede Macaling) dengan satu perjanjian akan selalu melindungi umat Hindu / masyarakat Bali yang bakti dan taat kepada Tuhan dan leluhur, sedangkan mereka yang lalai akan dihukum oleh para rencang Ratu Rede Macaling.
                             Bila Beliau akan melakukan tugasnya maka Kulkul Pajenanengan yang kini disimpan dan disungsung di puri agung klungkung akan berbunyi sebagai pertanda akan ada malapetaka atau wabah. Maka gelang benang Tridatu digunakan sebagai simbol untuk membedakan masyarakat yang taat atau bakti dengan masyarakat yang lalai atau tidak taat.
                            Seiring berjalannya waktu dan perubahan dari jaman ke jaman maka hingga saat ini gelang benang Tridatu digunakan sebagai identitas dari umat Hindu khususnya di Bali.

                Senin, 25 Mei 2015

                MAKNA GALUNGAN DAN KUNINGAN

                MAKNA HARI RAYA GALUNGAN 

                lan 

                HARI RAYA KUNINGAN 






                               Galungan adalah hari raya suci Hindu yang jatuh pada Buda Kliwon Dungulan berdasarkan hitungan waktu bertemu sapta wara dan panca wara. Umat Hindu dengan penuh rasa bhakti melaksanakan rangkaian hari raya suci Galungan dan Kuningan dengan ritual keagamaan. [ Oleh : I Nyoman Dayuh, (UNHI - Dps)]
                             Menurut lontar Purana Bali Dwipa disebutkan : "Punang aci galungan ika ngawit bu, ka, dungulan sasih kacatur tanggal 25, isaka 804, bangun indra bhuwana ikang bali rajya". Artinya: "Perayaan hari raya suci Galungan pertama adalah pada hari Rabu Kliwon, wuku Dungulan sasih kapat tanggal 15 (purnama) tahun 804 saka, keadaan pulau Bali bagaikan lndra Loka". Mulai tahun saka inilah hari raya Galungan terus dilaksanakan, kemudian tiba-tiba Galungan berhenti dirayakan entah dasar apa pertimbangannya, itu terjadi pada tahun 1103 saka saat Raja Sri Eka Jaya memegang tampuk pemerintahan sampai dengan pemerintahan Raja Sri Dhanadi tahun 1126 saka Galungan tidak dirayakan.
                             Dan akhirnya Galungan baru dirayakan kembali pada saat Raja Sri Jaya Kasunu memerintah, merasa heran kenapa raja dan para pejabat yang memerintah sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui sebabnya beliau bersemedi dan mendapatkan pawisik dari Dewi Durgha menjelaskan pada raja, leluhumya selalu berumur pendek karena tidak merayakan Galungan, oleh karena itu Dewi Durgha meminta kembali agar Galungan dirayakan kembali sesuai dengan tradisi yang berlaku dan memasang penjor.

                 Macam - Macam Galungan

                       A. Galungan Di dalam lontar Sundarigama menyebutkan pada Buda Kliwon wuku Dungulan disebut hari raya Galungan.

                       B. Galungan Nadi Apabila Galungan jatuh pada bulan Purnama disebut Galungan Nadi, umat Hindu melaksanakan tingkatan upacara yang lebih utama. Berdasarkan Lontar Purana Bali Dwipa bahwa Galungan jatuh pada sasih kapat (kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 saka Bali bagaikan lndra Loka ini menandakan betapa meriahnya dan sucinya hari raya itu.

                       C. Galungan Naramangsa. Dalam Lontar Sanghyang Aji Swamandala mengenai Galungan Naramangsa disebutkan apabila Galungan jatuh pada Tilem Kapitu dan sasih Kasanga rah 9, tengek 9, tidak dibenarkan merayakan hari raya Galungan dan menghaturkan sesajen berisi tumpeng seyogyanya umat mengadakan caru berisi nasi cacahan dicampur ubi keladi, bila melanggar akan diserbu oleh Balagadabah.  Persiapan perayan hari raya Galungan dimulai sejak Tumpek Wariga disebut juga Tumpek Bubuh, pada hari ini umat memohon kehadapan Sanghyang Sangkara, Dewanya tumbuh tumbuhan agar Beliau menganugrahkan supaya hasil pertanian meningkat.
                          Setelah itu wrespati Sungsang adalah hari Sugihan Jawa merupakan pensucian bhuwana agung dilaksanakan dengan menghaturkan pesucian mererebu di Merajan, pekarangan, rumah serta menyucikan alat-alat untuk hari raya Galungan.
                        Besoknya Sukra Kliwon Sungsang disebut hari Sugihan Bali, pada hari ini kita melaksanakan penyucian bhuwana alit, mengheningkan pikiran agar hening, heneng dan metirta gocara.
                         Selanjutnya Redite Paing Dungulan disebut penyekeban. Pada hari ini adalah hari turunnya Sang Kala Tiga Wisesa, maka pada hari ini para wiku dan widnyana meningkatkan pengendalian diri (anyekung adnyana). Besoknya Soma Pon Dungulan disebut penyajaan pada hari ini tetap menguji keteguhan sebagai bukti kesungguhan melakukan peningkatan kesucian diri seperti yoga semadi.
                          Selanjutnya Anggara Wage Dungulan disebut penampahan melakukan bhuta yadnya ring catur pate atau lebuh di halaman rumah, agar tidak diganggu Sang Kala Tiga Wisesa.
                         Besoknya Buda Kliwon Dungulan disebut Hari Raya Galungan umat Hindu melakukan pemujaan kepada Tuhan dengan segala manifestasi-Nya. Wrespati Umanis Dungulan disebut Manis Galungan, umat saling kunjung-mengunjungi dan maaf-memaafkan.
                Selanjutnya Saniscara Pon Dungulan disebut pemaridan guru pada hari ini umat melaksanakan tirta gocara, Redite Wage Kuningan disebut ulihan kembalinya Dewa dan Pitara kekahyangan.
                         Selanjutnya Soma Kliwon Kuningan disebut Pemacekan Agung Dewa beserta pengiringnya kembali dan sampai ketempat masing-masing. Sukra Wage Kuningan disebut Penampahan Kuningan adalah persiapan untuk menyambut hari Raya Kuningan.
                 Besoknya Saniscara Kliwon Kuningan hari Raya Kuningan, pada hari ini umat Hindu memuja Tuhan dengan segala manifestasinya. Upacara menghaturkan saji hendaknya.dilaksanakan jangan sampai lewat tengah hari, mengapa ? Karena pada tengah hari para Dewata diceritakan kembali ke swarga.
                          Kemudian yang paling akhir dari rangkaian hari raya Galungan yaitu Buda Kliwon Pahang disebut pegat uwakan akhir dari pada melakukan peberatan Galungan sebagai pewarah Dewi Durga kepada Sri Jaya Kasunu ditandai dengan mencabut penjor kemudian dibakar, abunya dimasukkan kedalam bungkak gading ditanam di pekarangan.
                         Makna Hari Raya Galungan dan Kuningan Dharma dan Adharma
                         Pada hari raya suci Galungan dan Kuningan umat Hindu secara ritual dan spiritual melaksanakannya dengan suasana hati yang damai. Pada hakekatnya hari raya suci Galungan dan Kuningan yang telah mengumandang di masyarakat adalah kemenangan dharma melawan adharma. Artinya dalam konteks tersebut kita hendaknya mampu instrospeksi diri siapa sesungguhnya jati diri kita, manusia yang dikatakan dewa ya, manusa ya, bhuta ya itu akan selalu ada dalam dirinya. Bagaimana cara menemukan hakekat dirinya yang sejati?, "matutur ikang atma ri jatinya" (Sanghyang Atma sadar akan jati dirinya). Hal ini hendaknya melalui proses pendakian spiritual menuju kesadaran yang sejati, seperti halnya hari Raya Galungan dan Kuningan dari hari pra hari H, hari H dan pasca hari H manusia bertahan dan tetap teguh dengan kesucian hati digoda oleh Sang Kala Tiga Wisesa, musuh dalam dirinya, di dalam upaya menegakkan dharma didalam dirinya maupun diluar dirinya. Sifat-sifat adharma (bhuta) didalam dirinya dan diluar dirinya disomya agar menjadi dharma (Dewa), sehingga dunia ini menjadi seimbang (jagadhita). Dharma dan adharma, itu dua kenyataan yang berbeda (rwa bhineda) yang selalu ada didunia, tapi hendaknyalah itu diseimbangkan sehingga evolusi didunia bisa berjalan.
                 Kemenangan dharma atas adharma yang telah dirayakan setiap Galungan dan Kuningan hendaknyalah diserap dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
                           Dharma tidaklah hanya diwacanakan tapi dilaksanakan, dalam kitab Sarasamuccaya (Sloka 43) disebutkan keutamaan dharma bagi orang yang melaksanakannya yaitu :
                       
                "Kuneng sang hyang dharma, mahas midering sahana, ndatan umaku sira, tan hanenakunira, tan sapa juga si lawanikang naha-nahan, tatan pahi lawan anak ning stri lanji, ikang tankinawruhan bapanya, rupaning tan hana umaku yanak, tan hana inakunya bapa, ri wetnyan durlaba ikang wenang mulahakena dharma kalinganika"
                (sarasamuccaya sloka 43


                 Artinya:

                         Adapun dharma itu, menyelusup dan mengelilingi seluruh yang ada, tidak ada yang mengakui, pun tidak ada yang diakuinya, serta tidak ada yang menegur atau terikat dengan sesuatu apapun, tidak ada bedanya dengan anak seorang perempuan tuna susila, yang tidak dikenal siapa bapaknya, rupa-rupanya tidak ada yang mengakui anak akan dia, pun tidak ada yang diakui bapa olehnya, perumpamaan ini diambil sebab sesungguhnya sangat sukar untuk dapat mengetahui dan melaksanakan dharma itu. Di samping itu pula dharma sangatlah utama dan rahasia, hendaknyalah ia dicari dengan ketulusan hati secara terus-menerus.

                Sarasamuccaya (sloka 564) menyebutkan :

                "Lawan ta waneh, atyanta ring gahana keta sanghyang dharma ngaranira, paramasuksma, tan pahi lawan tapakning iwak ring wwai, ndan pinet juga sire de sang pandita, kelan upasama pagwan kotsahan".

                Artinya:


                   Lagi pula terlampau amat mulia dharma itu, amat rahasia pula, tidak bedanya dengan jejak ikan didalam air, namun dituntut juga oleh sang pandita dengan ketenangan, kesabaran, keteguhan hati terus diusahakan. Demikianlah keutamaan dharma hendaknyalah diketahui, dipahami kemudian dilaksanakan sehingga menemukan siapa sesungguhnya jati diri kita.

                MELUKAT

                                      MELUKAT




                Kata Melukat adalah berasal dari bahasa jawa kuno yaitu lukat yang artinya bersih, melukat yang simpel bisa kita laksanakan pada mata air /aliran sungai di laut atau pertemuan laut dan sungai kalau di bali biasanya dekat pura segara atau di beji. Jika ada pemangku akan lebih gampang, bilang saja sama mangkunya ingin melukat karena ada beberapa pura yang melukatnya dilakukan oleh pemangku langsung. Kalau sendiri sangat mudah sekali sembahnyang dulu di dekat mata air atau aliran air itu mohon pensucian agar air tersebut diberi daya kekuatan untuk membersihkan sarira kita. Setelah itu jika waktu sembahyang tadi mengahturkan air percikan air tersebut ke air yang mau kita gunakan untuk melukat / mandi ....setelah selesai lakukan muspa / sembahyang lagi. Demikian dikutip dari salah satu komentar forum diskusi jaringan hindu nusantara. Juga dijelaskan dalam adat dan budaya, melukat adalah upacara pembersihan pikiran dan jiwa secara spiritual dalam diri manusia. Upacara Melukat ini dilaksanakan pada hari baik dan merupakan adat tradisi yang sudah dilakukan oleh umat Hindu di Bali secara turun temurun dan masih terus dilakukan sampai saat ini. Adapun makna dari upacara Melukat ini, dalam setiap diri manusia mempunyai sifat buruk dan kotor, jadi sifat itu yang harus disucikan dan dibersihkan kembali. Ada berbagai cerita kenapa upacara melukat ini dilakukan: Kisah Dewi Uma yang dikutuk dan menjelma menjadi mahluk menyeramkan, ditempatkan di setra gandamayu dan diberi nama Ra Nini, lalu muncul Batara Guru yang menyusup ke dalam diri Sadewa untuk menyucikan Ra Nini, dan mengembalikan Dewi Uma dalam wujudnya semula. Kemudian Dewi Uma mengajarkan cara membersihkan segala noda dan kejahatan. Kisah Bima saat diutus Drona/Dorna untuk mendapatkan air suci, lalu taktik Duryodana untuk menjebak Bima namun Bima justru bertemu dengan Mahadewa dalam wujud anak kecil yang menuturkan kerahasiaan air suci atau kesucian sebuah tirtaitu. Kisah Meng Bekung yang menemukan telor raksasa saat dia pergi kehutan lalu di bawa pulang ke rumah, saat direbus untuk dijadikan lauk, telur tersebut menetas bukannya matang/masak dari telur yang menetas itu keluar seorang manusia berbadan setengah ular, lengkap dengan sisiknya ternyata telor raksasa tersebut adalah perujudan rasa malu Sang Hyang Siwa dan Dewi Uma, yang melakukan hubungan asmara di langit, untuk menutupi rasa malu akibat perbuatan mereka keduanya menjelma menjadi ular bermahkota dan meninggalkan sebutir telur. Saat terjadi petaka/musibah dikerajaan tempat Meng Bekung berasal dan sudah tidak dapat diatasi dengan cara apapun lalu seorang Rsi mendapatkan wangsit untuk melakukan persembahan dan korban tersebut adalah manusia setengah ular, atas perintah dari Rsi tubuh manusia ular tersebut dipotong-potong untuk di jadikan ‘caru’ (korban), lalu potongan tubuh itu dibuang ke berbagai penjuru arah mata angin. Usai melakukan upacara itu tiba-tiba Sang Hyang Siwa muncul dan mengembalikan wujud manusia setengah ular itu menjadi utuh yang menjelma menjadi lelaki tampan dan kemudian memberi petunjuk mengenai prinsip pecaruan jagat.

                Sabtu, 11 April 2015

                SEJARAH IDHA BATARA DALEM BENCULUK TEGEH KORY

                                                                                  
                      
                 
                Sejarah Ida Betara
                Dalem Benculuk Tegeh kori



                     OM, Sembah sujud hamba kepada Ida Batara Sanghyang Suksma Wisesa yang mencitakanbaikbaik buruknya sebagae manusia.Semoga tidak terhalang dalam  menyusun riwayat ini,terhindarlah hamba,leluhur hamba dan seluruh keturunan hamba dari kutukan dan dosa. Bukan karena hamba  mahirtentang isa Sanghyang Purana Tatwa. Sebenarnya kami tak berkehendak  durhaka untuk menyusun riwayatleluhur kami, karena keinginan kami untuk selalu mengenang kebesaran dan jiwa mulia leluhur kami dan sbg peringatan untuk keluarga besar kami semua. Semoga berasil dan sempurna.
                     Om Ibu, sembah sujud kami kepada Ibu leluhur kami. Kami dpat merasakan perih yg ibu pendam, dukanestapa yg harus ibu tanggung,ter cerebut kasih sayang dalam genggaman,kehilangan hak untuk mengsuh dan membesarkan Sang Putra Mahkota. Kami merasa padih yg ibu derita,terpisah dari SANg PUTRA MAHKOTA ,terengut dari timangan dan kasih, teraniayaoleh sistem ketatanegaraan dantercoret dari silsilah Kerajaan  BALI DWIPA.
                      Om,Sembuhkan pujiku orang hina di telapak kaki pelindang jagat badeng. Siwa-Bhuda Janma-Bhatara senantiasa tenangdalam semedi. Sang Sri Prawatanata,pelindung para miskin,raja adiraja didunia,Dewa Bhatara ada dmana mana serta meresapi semua perti sentana,nirguna bagi kaum Wisnawa , Iswara bagi para Yogi,Purusa bagi kapila,Hartawan bagi Jambala,wagindra dalam segala ilmu,Dea Semara didalam Cinta,Dewa Yama dalam menghilang kan penghalan dan menjamin damai dunia. Begitulah kami mengubah sejarah,kepada Idha Bhatara Dalem Benculuk Tegehkori,Sri Nata Nambangan Badeng yg sedang nàpuk pemerintahan,bagw titisa Dewa Bhatar bliau menyapu duka rakyat semua. Tunduk setia segenap bumi badeng,bahkan seluruh wilayah Bali Dwipa.
                      
                       Tahun 1355 M beliu lahir untuk menjadi Narpati. Selama dalam kandungan di Samplangan,telah tampak keluhura gempa bumi,kepal asp,hujan abu,guruh halilintar menyambar nyambar. Gunung meletus,gemuruh membunuh nurjana,penjahat musnah dari negara, itulah tanda bahwa Ida Bhatara Girinata menjelmabagi raja. Terbukti selama bertatah,seluruh badeng tunduk menadah pemwrintah.Wipra,Ksatrya Waisya,sudra ke empat golongan sempurna dalam pengabdian. Durjana berhenti berbuuat kejahatan,takut akan keberanian Sri Nata.
                        Om ibu,tulisan ini adalah rangkuman dari berbagae sumberyg kami bca,dpadukan dng berbagae kesusastraan yg sudah ada. Alangkah sulitnya mengurangi benang kusut Sejarah Satrya Kulina Bali dwipa,krena terlalu banyak nya campur aduk kepentingan dalam penulisankesusastraan. Namun dalam kasih ibu,kami dapat menyusun semua inii.meskipun demikian,kami menyampaikn bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna,sehingga perlu pemikiran yg tenang untuk menyempurnakan semua tulisan ini. Semua Ibu senantiasa menyertai kami.
                           Om ibu,sembah sujud kami kepadaibu leluhur kami mengubah sejarah Idha bhatara Dalem benculuk tegehkori demi menegakkan kebenaransejarah leluhur yg teroyak oyak dan tercerai berae. Selajutnya,kami taburkan gubahan sejarah leluhur kami,Ida Bhatara Dalem Benculuk Tegeh kori  kedalam telaga manassarovara, telaga budi pekerti. Semoga menjadi teladan bagi para pratisentana beliao.


                I . SEJARAH MAJAPAHIT 

                  
                                OM, Ibu,,,.kami mulai sejarah leluhur kamidari perjalanan Majapahit , Semoga tiada kesalahan dalam penulisan ini.
                                Pada sekitar tahun çaka 1192 (1270),Raja Singasari yg ber nama Çri Kartanegara, bercita cita untuk mempersatukan kerajaan dijawa dan sekitarnya,yang dikenal dengan nama Politik Sanggramawijaya. Raden Wijaya mempersunting kedua putri Çri Kertanegara yang sulung bernamanya Tribhuwana,serta yg bungsu bernama Gayatri (RajaPatni).
                                Pada tahun 1276 M , ekspedisi militwer ke Melayu dibawah pimpinan Mahisa  Anabrang berasil menaklukan Raja Shuarna Bhuami yang bernama Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa,sebagae perwujudantunduk kepada Raja
                Singasari, maka Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa mempersembahkan kedua otang putrinya yg bernama Dara Jingga dan adiknya Dara Petak. Mahisa  Anabrang memiliki seorang seorang putra yg dberi nama Mahisa  (Keboo) Taruna ato Sirarya Singha Sardhula.Yang berangkat kebali memjabat sebagae kanuruhan di Kerajaan Bali,dan menurunkan Arya Kanuruhan.
                                Pada tahun 1292Raja  Kartanegara tewas terbunuh oleh Jayakatwang,ketika expedisi Melayu tiba pada tanggal 4 mei 1294 M,maka kedua putra Melayudoterima oleh Raja Wijaya,selaku menantu dari Raja Çri Kertagara.
                               Pada tahun 1294 M,Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit.Setelah menjadi Raja Majapahit ,Saanggramawijaya di nobatkan dengan nama Çri Kertarajasa Jayendradewi dan Gayatri.Sebagae permaisuri Tribhuwana,sayangnya  tidak menghasilkan putra  namun menghasilkan dua orang putri, yakni Tribhuwana Tunggadewi dan Dyah Wiyat Sri Raja Dewi.  Dari perkawinan nya dengan Gayatri( Raja Patni) merupakan seorang Bhiksuni.  Sedangkan dari perkawinan drngan Dara petak, menghasilkan Çri Aji Kala Gemet yng lahi sekitar1295 M.  Karena permaisuri Tribhuawana tidak memiliki putra,maka beliau mengangkat Çri Aji Kala Gemet sebagae putra. Sedangkan selir yang laen Çri Kertajasa jayawardana memiliki putrayang diberi nama Arya Benculuk. Dengan demikiaan Çri Aji Kala Gemet , Tribhuwana Tunggadewi , Dyah Wiyat Sri Raja Dewi,dan Arya Benculuk adalah putra putri dari Çri Kertajasa jayawardana,raja Majapahit pettama.
                             Sekitar taun 1309 M,Raja Kertajasa jayawardana mangkat,sehingga digantikan oleh Çri Aji Kala Gemet sebagae raja majapahit kedua ber gelar Çri Jaya Negara. Beliao bertahta samapi tahun1328 M,karena meninggal dibunuh oleh tabib istana. Selanjutnya yang menjalankan roda pemerintahan Majapahit adalah Ibu Suri Rajapatni. Pada tahun çaka 1250 atao 1328 M samape dngan tahun caka 1256 Ç (1334 M).yang menjadi RajaMajapahit ke tiga adalah Ratu Bhra Kahuripan yg bergeler Çri Tribhuwana Tunggadewi Jayawisnu Wardani.
                            Baginda ratu sebagae pengayom Kerajaan Majapahit memilih suami melalui sayembara,dimana yang terpilih dari   Raden Cakra Dara ato Cakra Iswara ato Panji Seminingrat,yang merupakanketurunan dari Raja Jayawisnu Wardana dari Singasari .  Setelah menikah dengan Ratu majapahit, Raden Cakra Dara bergelar Baginda Çri Kerta Wardana diberikan kuasa oleh Ratu Çri Tribhuwana Tunggadewi Jayawisnu Wardani untuk memerintahkarena terkenal bijaksana,terpuji tingkah lakunya ,muda,tampan,dan mahirdalam hal kepemerintahan.
                         Dalam Purana jawa dsebutkan bahwa baginda Raja Majapahit Çri Kerta Wardana,dibantu oleh adiknyayang bernama Arya Darma ato Raden Dilah ato Kiyayi Nala. Pada saat itu menjadi Maha Patih adalah Gajah Mada yang kelahiran di Bale agung Mada. Sedangkan Arya Dharma dibantu oleh adik adiknyanyakni AryaSentong,Arya Beleteng,Arya Kutawaringin,Arya Belog,Arya kepakisan dan Arya Benculuk,bertepet tinggal di Palembang.
                        Dalam berbagai babad di bali,disebutkanbahwa Baginda Majapahit.Çri Kerta Wardana,adalah putra sulung dari kerajaan singosari.sedangkan putra kedua Arya Dharma,putra ketiga adalah  Arya Kenceng,kemudian Arya Kutawaringin, AryaSentong, dan terakhir ,Arya Belong. Namun dalam tulisan ini yang kami sampaikan adalah Arya Dharma bersaudara dengan Raden Cakradara dari pihak ibu.
                  Hal ini mengacu pada berbagi sumber pustaka dimana Arya Dharma adalah putra Adwayamarman yang menikah dengan Dara Jingga (kakak Dara Petak) putri dari Ratu Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa. Adwayamarman Mahapatih dari kerajaan Singasariyang bergelar Maha Patih I Hino Dyah Adwayabrahma. Setelah menikahdan terjadi kekosongan dari kerajaan melayu  maka Adwayamarman menjadi Raja dari Melayu yang bergelar Adwayamarman Mauliwarmadewa. Karena itu Arya Dharma dan Raja Jaya Negara serta Ratu çri Tribhuwana Tunggadewi Jayawisnu Wardani adalah bersaudara sepupu dari pihak IBU, oleh karenanya Arya Dharma memprolrh kedudukan yang tinggi dalam Kerajaan Majapahit.

                   Berikut adalah Dinasti Rajasa,sebagai penguasa KERAJAAN MAJAPAHIT
                1.  Çri Kertarajasa Jayawardana(1294-1309 M
                2. Çri Jayanagara (1309-1327 M
                3. Çri Tribuwana Tunggadewi Jayawisnu Wardani (1328-1334 M)
                4. Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanagara(1334-1389 M)
                5. Hyang Wisesa atao Wikramawardharma(1389-1427 M
                6. Dyah Suhita (1429-1447 M)
                7. Wijayaparakramawardana Dyah Kertawijaya (1447-1451 M
                8. Çri Rajasawardhana Sang Sinagara ato Çri Rajasawardhana Dyah Wijaya Kumara (1451-1453 M)
                9. Bhre Wengker Hyang Purwawisesa ato Girisawardhana Dyah Suryawirama(1456-1478 M)
                10. Giripati Suraprabhawa Çri Singawikramawardhana ato Dyah Suraprabhawa Çri Singawikramawardhana (1466-1478 M)
                   Sedangkan raja raja yang memerintah di bali adalah sebagae berikut:
                1.  Çri Kesari Warmadewa (882-914 M)  
                2.  Çri Ugrasena (915-950 M)
                3.  Bhatara Maharaja Chandrabhaya Singgha Warmadewa (950-980 M)
                4.  Bhatara Maharaja Çri Dharma Udayana dengan permaisuri Ratu Mahedradhata Gunaparya Dharamadewa(985-1011M)
                5.  Çri Wardhana Marakata Pangkaja Tunggadewa (1012-1048 M)
                6.  Çri Haji  Hungsu atau Anak Wungsu. (1049-1077 M)
                7.  Ratu Sakalindu Kirana (sakala indukirana isana guna dharma dharawijaya untunggadewi(1080-1110M)
                8.  Çri Suradipa (1115-1129M)
                9.  Çri Jayasakti (1133-1150M)
                10.  Çri Jayapangus (1170-1200 M)
                11.  Çri Hakayana (1185-1200M)
                12.  Çri Dhanadiraja (1204-1225M)
                13.  Çri Jayasuna (1230-1270 M)
                14.  Çri Masula Masuli (1277-1320M)
                15.  Çri Asta Asura Ratna Bhumi Banten (1321-1343M)
                Lanjutannya bagiaan ke  >>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> ampura ya,,, tyang belum dapat upgare,, so masih ada kessibukan dikit yang mengikat.suksma