Kata Melukat adalah berasal dari bahasa
jawa kuno yaitu lukat yang artinya bersih,
melukat yang simpel bisa kita laksanakan
pada mata air /aliran sungai di laut atau
pertemuan laut dan sungai kalau di bali
biasanya dekat pura segara atau di beji.
Jika ada pemangku akan lebih gampang,
bilang saja sama mangkunya ingin melukat
karena ada beberapa pura yang melukatnya
dilakukan oleh pemangku langsung.
Kalau sendiri sangat mudah sekali
sembahnyang dulu di dekat mata air atau
aliran air itu mohon pensucian agar air
tersebut diberi daya kekuatan untuk
membersihkan sarira kita.
Setelah itu jika waktu sembahyang tadi
mengahturkan air percikan air tersebut ke
air yang mau kita gunakan untuk melukat /
mandi ....setelah selesai lakukan muspa /
sembahyang lagi. Demikian dikutip dari
salah satu komentar forum diskusi jaringan
hindu nusantara.
Juga dijelaskan dalam adat dan budaya,
melukat adalah upacara pembersihan
pikiran dan jiwa secara spiritual dalam diri
manusia. Upacara Melukat ini dilaksanakan
pada hari baik dan merupakan adat tradisi
yang sudah dilakukan oleh umat Hindu di
Bali secara turun temurun dan masih terus
dilakukan sampai saat ini.
Adapun makna dari upacara Melukat ini,
dalam setiap diri manusia mempunyai sifat
buruk dan kotor, jadi sifat itu yang harus
disucikan dan dibersihkan kembali.
Ada berbagai cerita kenapa upacara melukat
ini dilakukan:
Kisah Dewi Uma yang dikutuk dan
menjelma menjadi mahluk
menyeramkan, ditempatkan di setra
gandamayu dan diberi nama Ra Nini,
lalu muncul Batara Guru yang
menyusup ke dalam diri Sadewa
untuk menyucikan Ra Nini, dan
mengembalikan Dewi Uma dalam
wujudnya semula. Kemudian Dewi
Uma mengajarkan cara
membersihkan segala noda dan
kejahatan.
Kisah Bima saat diutus Drona/Dorna
untuk mendapatkan air suci, lalu
taktik Duryodana untuk menjebak
Bima namun Bima justru bertemu
dengan Mahadewa dalam wujud
anak kecil yang menuturkan
kerahasiaan air suci atau kesucian
sebuah tirtaitu.
Kisah Meng Bekung yang
menemukan telor raksasa saat dia
pergi kehutan lalu di bawa pulang ke
rumah, saat direbus untuk dijadikan
lauk, telur tersebut menetas
bukannya matang/masak dari telur
yang menetas itu keluar seorang
manusia berbadan setengah ular,
lengkap dengan sisiknya ternyata
telor raksasa tersebut adalah
perujudan rasa malu Sang Hyang
Siwa dan Dewi Uma, yang
melakukan hubungan asmara di
langit, untuk menutupi rasa malu
akibat perbuatan mereka keduanya
menjelma menjadi ular bermahkota
dan meninggalkan sebutir telur. Saat
terjadi petaka/musibah dikerajaan
tempat Meng Bekung berasal dan
sudah tidak dapat diatasi dengan cara
apapun lalu seorang Rsi
mendapatkan wangsit untuk
melakukan persembahan dan korban
tersebut adalah manusia setengah
ular, atas perintah dari Rsi
tubuh manusia ular tersebut
dipotong-potong untuk di jadikan
‘caru’ (korban), lalu potongan tubuh
itu dibuang ke berbagai penjuru arah
mata angin. Usai melakukan upacara
itu tiba-tiba Sang Hyang Siwa muncul
dan mengembalikan
wujud manusia setengah ular itu
menjadi utuh yang menjelma
menjadi lelaki tampan dan kemudian
memberi petunjuk mengenai prinsip
pecaruan jagat.