Panca Sradha
Pengertian Panca Sradha
Pengertian Panca Sradha
Agama Hindu disebut pula dengan Hindu
Dharma, Vaidika Dharma ( Pengetahuan Kebenaran) atau Sanatana
Dharma ( Kebenaran Abadi ). Untuk pertama kalinya Agama Hindu berkembang di
sekitar Lembah Sungai Sindhu di India. Agama Hindu adalah agama yang
diwahyukan oleh Sang Hyang Widhi Wasa, yang diturunkan ke dunia melalui Dewa
Brahma sebagai Dewa Pencipta kepada para Maha Resi untuk diteruskan
kepada seluruh umat manusia di dunia.
Ada tiga kerangka dasar yang
membentuk ajaran agama Hindu, ketiga kerangka tersebut sering juga
disebut tiga aspek agama Hindu. Ketiga kerangka dasar itu antara lain :
- Tattwa, yaitu pengetahuan tentang filsafat agama.
- Susila, yaitu pengetahuan tentang sopan santun, tata krama.
- Upacara, yaitu pengetahuan tentang yajna, upacara agama.
Di dalam ajaran Tattwa di diajarkan
tentang “ Sradha “ atau kepercayaan. Sradha dalam agama Hindu jumlahnya ada lima
yang disebut “ Panca Sradha “. Jadi Panca Sradha adalah Lima kepercayaan yang
dimiliki oleh umat Hindu yang di wahyukan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa
diturunkan ke dunia melalui Dewa Brahma, kepada para Maha Resi, untuk
disebarkan kepada umat Hindu di dunia.
Bagian- Bagian Panca Sradha
Panca Sradha terdiri dari :
- Brahman :artinya percaya akan adanya Sang Hyang Widhi.
- Atman :artinya percaya akan adanya Sang Hyang Atman.
- Karman :artinya percaya akan adanya hukum karma phala.
- Samsara :artinya percaya akan adanya kelahiran kembali.
- Moksa :artinya percaya akan adanya kebahagiaan rohani.
Untuk menciptakan kehidupan yang
damai seseorang wajib memiliki sradha (kepercayaan) yang mantap. Seseorang yang
sradhanya tidak mantap hidupnya menjadi ragu, canggung, dan tidak tenang dan
juga akan terombang ambing.
Cobalah perhatikan kegelisahan dan
ketakutan seorang anak di arena sirkus. Anak kecil menjerit ketakutan ketika
disuruh bersalaman dengan seekor harimau, walaupun di dampingi oleh seorang
Pawang. Tidak lain dan tidak bukan karena anak kecil itu belum mempunyai
kepercayaan penuh bahwa harimau itu akan jinak dan telah terlatih oleh
pawangnya. Jadi kesimpulannya kepercayaan yang mantap dapat menciptakan
ketenangan dan apabial kepercayaan tersebut tidak ada maka semuanya akan terasa
menakutkan.
Brahman (Sang Hyang Widhi Wasa
)
Ada
beberapa kata yang berkaitan dengan Brahman itu yaitu akar brh-. Ada dua
kata yang dieja secara sama, tetapi dengan aksen yang berbeda. Kedua kata itu adalah brhman dan brahmn (nominatif
tunggal dari brahma. Brhman, jenis netral, mempunyai arti “ucapan suci.”
Brahmn, jenis maskulin, mempunyai arti pertama-tama “dia yang memperoleh
kuasa dari ucapan atau sabda suci,” dan yang demikian itu bisa berupa dewa atau
pun manusia. Sang brahmn dewani mengkristal dalam sosok tunggal
yang mempergunakan nama tersebut. Para Orientalis lebih suka menyebutnya Brahma
(dengan menggunakan nominatif tunggal dan bukan akar kata tersebut untuk
menghindari kesalahpahaman). Dalam sistem di kemudian hari Brahma akan dikenal
sebagai dewa pencipta par excellence. Namun brahmn dapat juga
dikenakan untuk manusia – seorang Brahmin atau Brahman – tetap dalam arti ini
kata tersebut pelan-pelan diganti oleh kata Brahmana, yakni seorang
anggota dari kelas tertinggi, kelas para imam. Kata Brahman juga
merupakan nama untuk teks-teks ibadat kurban dalam induk kitab Veda.
Penjelasan
filologis atas kata Brahman kiranya relevan di sini. Penjelasan tersebut tidak
saja karena hal itu boleh diharapkan untuk menjernihkan pikiran kita, tetapi
juga karena hal itu memberikan gambaran tentang cara-cara bagaimana, bukan
hanya mungkin, malahan logis, kaum Brahmana dari periode di kemudian hari harus
dianggap sebagai dewa-dewa di antara manusia. Pada mulanya mereka hanyalah
imam-imam biasa yang diberi kepercayaan untuk membacakan kitab Veda,
sabda-sabda suci. Setelah brhman menjadi mapan sebagai dasar yang tidak
berubah dan abadi dari semesta alam, arti penting kaum Brahmana secara harafiah
mendapatkan keabadian pula. Dari “ucapan suci”, brhman memperoleh arti
yang lebih umum “kekuatan suci” sebagaimana adanya: “yang mengenal brhman dalam
diri manusia, mengenal tuhan yang mahatinggi”. Brhman
dalam
manusia dengan demikian sama dengan brhman dalam Tuhan. Yang sangat
berarti dalam hal perkembangan gagasan mengenai brhman adalah madah dari
Atharva-Veda, 10.2:
Brahman bekerja dalam dunia melalui
Trimurti: Brahma, Shiva dan Vishnu. Ketiganya adalah prinsip atau potensi yang
berusaha saling memisahkan. Brahma, “Tuhan
yang riel”, merupakan Tuhan masa lampau, Tuhan yang hilang dan lupa tanpa
gambar-gambar dan kuil-kuil. Śiva mendominasi kesadaran India. Ia adalah
prinsip yang merusak, tetapi bukan dalam suatu pengertian yang jahat: Ia
membinasakan Brahma, yang adalah kekuatan dari prinsip nyata (real) yang
menahan manusia dalam perbudakan. Visnu tampaknya memperbaiki kesatuan yang
hilang dan rusak tersebut. Visnu meniadakan Śiva dan fungsi-fungsi sebagai
prinsip yang pada dasarnya sektarian dan memecah belah.
Percaya terhadap Tuhan, mempunyai
pengertian yakin dan iman terhadap Tuhan itu sendiri. Yakin dan iman ini
merupakan pengakuan atas dasar keyakinan bahwa sesungguhnya Tuhan itu ada, Maha
Kuasa, Maha Esa dan Maha segala-galanya. Tuhan Yang Maha Kuasa, yang disebut
juga Hyang Widhi (Brahman), adalah ia yang kuasa atas segala yang ada ini.
Tidak ada apapun yang luput dari Kuasa-Nya. Ia sebagai pencipta, sebagai
pemelihara dan Pelebur alam semesta dengan segala isinya. Tuhan adalah sumber
dan awal serta akhir dan pertengahan dari segala yang ada. Didalam Weda
(Bhagavad Gita), Tuhan (Hyang Widhi) bersabda mengenai hal ini, sebagai
berikut:
Tuhan (Hyang Widhi), yang bersifat Maha
Ada, juga berada disetiap mahluk hidup, didalam maupun doluar dunia (imanen dan
transenden). Tuhan (Hyang Widhi) meresap disegala tempat dan ada dimana-mana
(Wyapi Wyapaka), serta tidak berubah dan kekal abadi (Nirwikara). Di dalam
Upanisad (k.U. 1,2) disebutkan bahwa Hyang Widhi adalah “telinga dari semua
telinga, pikiran dari segala pikiran, ucapan dari segala ucapan, nafas dari
segala nafas dan mata dari segala mata”, namun Hyang Widhi itu bersifat gaib
(maha suksma) dan abstrak tetapi ada.
Walaupun amat gaib, tetapi Tuhan hadir
dimana-mana. Beliau bersifat wyapi-wyapaka, meresapi segalanya. Tiada suatu
tempatpun yang Beliau tiada tempati. Beliau ada disini dan berada disana Tuhan
memenuhi jagat raya ini.
Kendatipun Tuhan itu selalu hadir
dan meresap di segala tempat,tetapi sukar dapat dilihat oleh mata biasa. Indra
kita hanya dapat menangkap apa yang dilihat, didengar, dikecap dan dirasakan.
Kemampuannya terbatas, sedangkan Tuhan (Hyang Widhi) adalah Maha Sempurna dan
tak terbatas.
Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha
Kuasa, yang tak terjangkau oleh pikiran, yang gaib dipanggil dengan nama sesuai
dengan jangkauan pikiran, namun ia hanya satu, Tunggal adanya.
Karena Tuhan tidak terjangkau oleh
pikiran, maka orang membayangkan bermacam-macam sesuai dengan kemampuannya.
Tuhan yang Tunggal (Esa) itu dipanggilnya dengan banyak nama sesuai dengan
fungsinya. Ia dipanggil Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan
Ciwa sebagai pelebur/pemralina. Banyak lagi panggilannya yang lain. Ia maha
tahu, berada dimana-mana. Karena itu tak ada apapun yang dapat kita sembunyikan
dihadapan-Nya. Orang-orang menyembah-Nya dengan bermacam-macam cara pada tempat
yang berbeda-beda. Kepada-Nyalah orang menyerahkan diri, mohon perlindungan dan
petunjuk-Nya agar ia menemukan jalan terang dalam mengarungi hidup ini.
Brahman ( Percaya akan adanya Hyang
Widhi ), Hyang Widhi adalah yang menakdirkan, maha kuasa, maha kekal, tanpa
awal dan akhir dan pencipta semua yang ada yang disebut “ Wyapi Wyapaka
Nirwikara “. Kita percaya bahwa beliau ada, meresap di semua tempat dan
mengatasi semuanya yang disebut Wyapaka.
Di dalam kitab Brahman Sutra
dinyatakan “ Jan Ma Dhyasya Yatah “ artinya Hyang Widhi adalah asal mula
dari semua yang ada di alam semesta ini. Dari pengertian tersebut bahwa Hyang
Widhi adalah asal dari segala yang ada. Kata ini diartikan semua ciptaan, yaitu
alam semesta beserta isinya termasuk Dewa – dewa dan lain – lainnya berasal dan
ada di dalam Hyang Widhi. Tidak ada sesuatu di luar diri beliau. Penciptaan
pemeliharaan dan peleburan adalah kekuasaan beliau.
Agama Hindu mengajarkan bahwa Sang
Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa tidak ada duanya. Hal ini dinyatakan
dalam beberapa kitab Weda antara lain :
1. Dalam
Chandogya Upanishad dinyatakan :
“ Om
tat Sat Ekam Ewa Adwityam Brahman “
artinya
Hyang Widhi hanya satu tak ada duanya dan maha sempurna.
2. Dalam
mantram Tri Sandhya tersebut kata – kata :
“ Eko
Narayanad na Dwityo Sti Kscit “
artinya
hanya satu Hyang Widhi dipanggil Narayana, sama sekali tidak ada duanya.
3. Dalam
Kitab Suci Reg Weda disebutkan “
“ Om
Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti “
artinya
Hyang Widhi itu hanya satu, tetapi para arif bijaksana menyebut dengan berbagai
nama.
4. Dalam
kekawin Sutasoma dinyatakan :
Bhineka
Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa
artinya
berbeda – beda tetapi satu, tak ada Hyang Widhi yang ke dua.
Dengan pernyataan – pernyataan di
atas sangat jelas, umat Hindu bukan menganut Politheisme, melainkan umat
Hindu menganut Monotheisme yaitu mengakui dan percaya dengan adanya satu
Hyang Widhi atau Tuhan Yang maha Esa.
Hindu sangat lengkap, dan fleksibel.
Tuhan dalam Hindu di insafi dalam 3 aspek utama, yaitu Brahman ( Yang
tidak terpikirkan ), Paramaatma ( Berada dimana-mana dan meresapi
segalanya ), dan Bhagavan ( berwujud ).
Atman (Sang Hyang Atma)
Atman ( Percaya akan adanya Sang
Hyang Atma ). Di dalam weda Parikrama disebutkan : “Eko Devah sarva
bhutesu, gudhah sarva vyapim sarva bhutaratma Karma, dhyaksah sarva
bhutadiwasah. Saksi ceto. Kevalonirgnasca” yang artinya Satu zat yang
bersembunyi dalam setiap makhluk yang mengisi semuanya yang merupakan jiwa
bathin semua makhluk raja dari semua perbuatan yang tinggal dalam semua makhluk
saksi yang hanya terdapat dalam pikiran saya.
Jadi atma adalah percikan kecil dari
Paramaatma (tuhan) yang berada disetiap makhluk hidup. Atma berasal dari Hyang
Widhi yang memberikan hidup kepada semua makhluk. Atma atau Sang Hyang Atma
disebut pula Sang Hyang Urip yang berarti Sang Hyang yang memberikan
nyawa. Manusia, hewan dan tumbuhan adalah mahluk hidup yang terjadi dari dua
unsur yaitu badan dan atma. Badan adalah kebendaan yang terbentuk dari lima
unsur kasar yaitu Panca Maha Butha. Di dalam badan melekat indria yang
jumlahnya sepuluh ( Dasa Indria ).
Mengenai keberadaan atma itu,
dijelaskan dalam kitab suci sebagai berikut :
1.
Sariram brahma pravisat sarire-adhi
prajapatih.
(atharwa
weda XI. 8.30 )
Sang
hyang Widhi Wasa memasuki tubuh manusia dan dia menjadi raja tubuh itu.
2.
Iyam kalyani ajara martyasyaamerta
grahe
(atharwa weda X. 8. 26)
Dewa yang kekal dan bertuah itu bertempat tinggal didalam
tubuh manusia yang fana.
3.
Na jayate mriyate va kadachin
,shavitava na yambhutva va na bhuyah,ajo nityah sasvato yam purano,na hayate
hanyamane sarire
(bhagawadgita II.20.23)
Ia tidak pernah lahir pun juga tidak pernaah mati kapanpun,
pun juga tidak pernah muncul dan lagi tidak pernah menghilang. Ia adalah tidak
mengenal kelahiran, kekal, abadi dan selalu ada. Ia tidak dapat di bunuh bila
badan di bunuh.
4.
Aham atma gudakesa,sarvabhutasyasthitah
aham adis cha madhyam cha, butanam anta eva cha.
(bhagawadgita X. 20 )
Oh arjuna, aku adalah atman yang menetap dalam hati semua
mahluk, aku adalah permulaan, pertengahan, dan akhir dari semua mahluk.
Atma adalah yang menghidupkan mahluk
itu sendiri, sering juga disebut badan halus . Atma yang menghidupkan badan
manusia disebut “ Jiwatman “ atau “ Swatman “ . Badan dengan atma
ini bagaikan hubungan Kusir dengan Kereta. Kusir adalah atma, dan kereta adalah
badan. Indria yang ada pada badan kita tidak akan ada fungsinya apabila tidak
ada atma. Misalnya, mata tidak dapat digunakan untuk pengelihatan jika tidak
dijiwai oleh atma. Telinga tidak dapat digunakan untuk pendengaran jika tidak
dijiwai oleh atma. Oleh karena itu Atma merupakan bagian dari tuhan yang
sifatnya sangat gaib (Parama Sukma), tidak pernah mengalami kelahiran
dan kematian (Najayate naha niyamane)
Atma yang berasal dari Hyang Widhi
mempunyai sifat “ Antarjyotih “ ( bersinar tidak ada yang menyinari,
tanpa awal dan tanpa akhir, dan sempurna ).
Dalam kitab Bhagawandgita disebut
sifat – sifat atma sebagai berikut :
- Achodyhya artinya tak terlukai oleh senjata
- Adahya artinya tak terbakar oleh api
- Akledya artinya tak terkeringkan oleh angin
- Acesyah artinya tak terbasah oleh air
- Nitya artinya abadi, kekal
- Sarwagatah artinya ada dimana – mana
- Sthanu artinya tak berpindah – pindah
- Acala artinya tak bergerak
- Sanatana artinya selalu sama
- Adyakta artinya tak terlahirkan
- Achintya artinya tak terpikirkan
- Awikara artinya tak berjenis kelamin
Sehubungan dengan hal itu perhatikan
sloka-sloka berikut mengenai atman yaitu
Bhagavad-Gita II sloka 23, 24, dan 25 menyebutkan:
Bhagavad-Gita II
sloka 23
nai'nam
chhindanti sastrani
nainam dahati paskah
na chai'nam kledayanty apo
na
soshayati marutah
Artinya:Senjata tidak dapat melukai Dia
dan api tidak bisa membakar- Nya
angin tidak dapat mengeringkan Dia
dan air tidak bisa membasahi- Nya
Bhagavad-Gita II sloka 24
Achedyo 'yam adahyo 'yam
akledya 'soshya eva cha
nityah sarwa-gatah sthanur
achalo 'yam sanatanah
Artinya:
Dia tidak dapat dilukai, dibakar
juga tidak dikeringkan dan dibasahi
Dia adalah abadi, tiada berubah
tiada bergerak, tetap selama- lamanya.
Bhagavad-Gita II sloka 25
Avyakto 'yam achintyo 'yam
Avikaryo 'yam uchyate
tasmad evam viditvainam
na 'nusochitum arhasi.
Artinya:
Dia dikatakan tidak termanifestasikan
tidak dapat dipikirkan, tidak berubah- ubah
dan mengetahui halnya demikian
engkau hendaknya jangan berduka
Jelaslah atma itu sifatnya sempurna. Tetapi
pertemuan antara atma dengan badan yang kemudian menimbulkan ciptaan
menyebabkan atma dalam keadaan “ Awidhya “. Awidhya artinya gelap lupa
kepada kesadaran . Awidhya muncul karena pengaruh unsur Panca Maha Butha
yang mempunyai sifat duniawi. Sehingga dalam hidup ini atma dalam diri manusia
di dalam keadaan awidhya.
Dalam keadaan seperti ini kita hidup
kedunia bertujuan untuk menghilangkan awidhya untuk meraih kesadaran yang
sejati dengan cara melaksanakan Subha Karma yang artinya
perbuatan baik. Menyadari sifat atma yang serba sempurna dan penuh kesucian
menimbulkan usaha untuk menghilangkan pengaruh awidhya tadi. Karena apabila
manusia meninggal kelak hanya badan yang rusak, sedangkan atmanya tetap ada
kembali akan mengalami kelahiran berulang dengan membawa “ Karma Wasana “
yang artinya bekas hasil perbuatan . Oleh karena itu, manusia lahir kedunia
harus berbuat baik atas dasar pengabdian untuk membebaskan Sang Hyang Atma dari
ikatan duniawi. Sesungguhnya jika tidak ada pengaruh duniawi Hyang Widhi dan
Atma itu adalah tunggal adanya ( Brahman Atman Aikyam ).
Karman (Hukum Karma Phala)
Kata Karma berasal dari bahasa
Sanskerta yaitu dari akar kata Kr, yang artinya berbuat atu bekerja. Perbuatan
tersebut ada yang baik dan ada yang buruk. Perbuatan baik disebut Subha Karma
dan yang buruk Asubha Karma. Dan semuanya itu disebut Karma. Sumber karma ada 3
yaitu Manah atau pikiran, Wacika atau perkataan, Kayika atau perbuataan. Dalam
kitab Slokantara dijelaskan “Karma Phala Ngaran Ika Phalaning Gawe Hala Hayu”
artinya karma phala itu adalah akibat(phala) dari baik dan buruk suatu
perbuatan. Adapun sifat-sifat dari hukum karma phala yaitu:
a. Bersifat pasti dan tak terbatalkan
b. Bersifat adil sesuai dengan karma
c. Bersifat universal
Adapun manfaat sebagai adalah sebagai berikut :
1. memotifasi
seseorang untuk selalu berbuat baik
2. memotifasi
seseorang untuk selalu bersikap positif dan dinamis serta tidak mudahPutus asa
3. memotivasi
seseorang untuk selalu bekerja tanpa pamrih
Karma ialah segala perbuatan dan
kegiatan yang kita lakukan tanpa kecuali, baik yang secara sadar maupun yang
kita laksanakan secara tidak sadar. Bentuk-bentuk karma sesuai dengan sumbernya
ada tiga macam yaitu:
1.
Karma dalam bentuk pikiran
2.
Karma dalam bentuk ucapan
3.
Karma dalam bentuk perbuatan atau
tingkah laku
Jika begitu, dapat diungkapkan bahwa
yang dimaksud dengan Karma ialah segala kegiatan dalam bentuk pikiran, ucapan
dan perbuatan baik yang disadari maupun yang tidak disadari.
Seperti halnya petani yang menanam jagung
atau singkong, pasti dia akan memetik jagung atau sin
gkong, karena kelak jagung itu pasti akan berbuah, dan kelak
singkong itu pasti akan berumbi dan si petanipun akan mendapatkan hasil dari
apa yang ia tanam.
Begitu juga halnya dengan karma perbuatan yang
dilakukan oleh manusia pasti akan menimbulkan hasil buah atau akibat. Hasil
dari perbuatan itulah yang disebut Karma Phala. Kata phala berarti
buah atau hasil, dan yang akan menerima Karma Phala atau buah karma itu adalah
orang yang berbuat atau yang memiliki karma itu, sebab ia sendiri yang
melakukan karma itu. Jika ia berbuat karma yang baik, maka ia akan memperoleh
hasil yang baik pula, dan sebaliknya jika ia melakukan karma yang buruk maka
hasilnya akan buruk pula. Keadaan atau kejadian seperti itulah yang disebut Hukum
Karma.
Hukum Karma adalah Hukum alam yang menjelaskan
bahwa segala perbuatan akan menimbulkan hasil, perbuatan baik akan menimbulkan
kebaikan dan perbuatan jahat akan menimbulkan kejahatan (penderitaan). Hal itu
sesuai dengan hukum sebab akibat yang menyatakan bahwa setiap sebab akan
menimbulkan akibat. Maksudnya segala sebab yang berupa perbuatan akan membawa
akibat sebagai hasil perbuatan itu, karena kata perbuatan sama dengan
“karma” maka dapat kita katakan sebagai berikut: segala karma atau (perbuatan)
akan mengakibatkan Karma Phala (hasil/buah perbuatan).
Pengaruh hukum ini pulalah yang
menentukan corak serta nilai dari pada watak manusia. Hal ini menimbulkan adanya
bermacam-macam ragam watak manusia di dunia ini. Terlebih-lebih hukuman kepada
roh yang selalu melakukan dosa semasa penelmaannya, maka derajatnya akan
semakin bertambah merosot.
Hal ini disebutkan dalam Weda sebagai
berikut:
Dewanam narakam janturjantunam
narakam pacuh,
Pucunam narakam nrgo mrganam narakam
khagah,
Paksinam narakam vyalo vyanam
narakam damstri,
Damstrinam narakam visi visinam
naramarane
(Clokantara.40.13-14)
Dewa neraka (menjelma) menjadi manusia. Manusia neraka (menjelma) menjadi ternak. Ternak menjadi binatang buas, binatang buas neraka menjadi burung, burung neraka menjadi ular, dan ular neraka menjadi taring. (serta taring) yang jahat menjadi bisa (yakni) bisa yang dapat membahayakan manusia.
Setiap perbuatan yang kita lakukan
di dunia ini baik atau buruk akan memberikan hasil. Tidak ada perbuatan sekecil
apapun yang luput dari hasil atau pahala, langsung maupun tidak langsung pahala
itu pasti akan datang. Kita percaya bahwa perbuatan yang baik atau Subha Karma
membawa hasil yang menyenangkan atau baik. Sebaliknya perbuatan yang buruk atau
Asubha Karma akan membawa hasil yang duka atau tidak baik.
Perbuatan – perbuatan buruk atau Asubha Karma menyebabkan Atma jatuh ke Neraka, dimana ia mengalami segala macam siksaan. Bila hasil perbuatan jahat itu sudah habis terderita, maka ia akan menjelma kembali ke dunia sebagai binatang atau manusia sengsara ( Neraka Syuta ). Namun, bila perbuatan – perbuatan yang dilakukan baik maka berbagai kebahagiaan hidup akan dinikmati di sorga. Dan bila hasil dari perbuatan – perbuatan baik itu sudah habis dinikmati, kelak menjelma kembali ke dunia sebagai orang yang bahagia dengan mudah ia mendapatkan pengetahuan yang utama (Surga Syuta).
Dalam lontar Atmaprangsangsa Agama
dinyatakan bermacam-macam tempat yang disediakan oleh Sang Hyang Yamadipati
untuk menghukum -attnd yang mendapat neraka,yaitu sebagai berikut :
1.
Kawah Tamra
Gohmukha (Kawah Weci)
Atma yang pada kehidupannya selalu
berbuat jahat (jenek ring pangan kinum), sampaimerugikan orang lain maka atma
itu akan dibuang ke dalam kawah Tamra Gohmukha.
2.
Batu Macepak
Atma yang penuh dengan dosa-dosa
akibat perbuatan mulutnya yang tidak baik makadia dihukum di batu ini.
3.
Tihing Petung dengan di bawahnya
jurang
Tempat hukuman bagi atma yang penuh
dosa karena melaksanakan black magic (ilmuhitam)
4.
Titi Ugal-Agil
Tempat hukuman bagi atma yang pada
waktu hidupnya suka memfitnah (ngerajapisurta) dan mengada-ada (berbohong).
5.
Kayu Curiga
Tempat menghukum atma yang penuh
dosa karena bermain cinta dengan bukan istrinyasendiri.
6.
Tegal penangsaran
Disediakan bagi atma yang penuh dosa
karena perbuatannya selalu membuat orang lainsengsara/ panas hati
Jika dilihat dari sudut waktu, Karma
phala dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
a. Sancita
Karma Phala
Sancita Karma Phala adalah hasil
dari perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan
masih merupakan benih yang menentukan kehidupan kita sekarang. Bila karma kita
pada kehidupan yang terdahulu baik, maka kehidupan kita sekarang akan baik pula
( senang, sejahtera, bahagia ). Sebaliknya bila perbuatan kita terdahulu buruk
maka kehidupan kita yang sekarang inipun akan buruk ( selalu menderita, susah,
dan sengsara ). Atau sering disebut Karma Phala Dahulu-Sekarang.
b. Prarabda Karma Phala
Prarabda Karma Phala adalah hasil
dari perbuatan kita pada kehidupan sekarang ini tanpa ada sisanya, sewaktu masih
hidup telah dapat memetik hasilnya, atas karma yang dibuat sekarang. Sekarang
menanam kebijaksanaan dan kebajikan pada orang lain dan seketika itu atau
beberapa waktu kemudian dalam hidupnya akan menerima pahala, berupa
kebahagiaan. Sebaliknya sekarang berbuat dosa, maka dalam hidup ini dirasakan
dan diterima hasilnya berupa penderitaan akibat dari dosa itu. Prarabda karma
phala dapat diartikan sebagai karma phala cepat. Atau serng disubut Karma Phala
Sekarang-sekarang.
c. Kriyamana Karma
Phala
Kriyamana Karma Phala adalah pahala
dari perbuatan yang tidak dapat dinikmati langsung pada kehidupan saat berbuat.
Tetapi, akibat dari perbuatan pada kehidupan sekarang akan dan di terima pada
kehidupan yang akan datang, setelah orangnya mengalami proses kematian serta
pahalanya pada kelahiran berikutnya. Apabila karma pada kehidupan yang sekarang
baik maka pahala pada kehidupan berikutnya adalah hidup bahagia, dan apabila
karma pada kehidupan sekarang buruk maka pahala yang kelak dikehidupan
mendatang diterima berupa kesengsaraan. Atau sering disebut dengan Karma Phala
Sekarang – akan datang.
Tegasnya cepat atau lambat, dalam kehidupan sekarang atau nanti, segala pahala dari perbuatan itu pasti diterima karena sudah merupakan hukum. Kita tidak dapat menghindari hasil perbuatan kita itu baik atau buruk. Maka kita selaku manusia yang dilengkapi dengan bekal kemampuan berpikir, patutlah sadar bahwa penderitaan dapat diatasi dengan memilih perbuatan baik. Manusia dapat berbuat atau menolong dirinya dari keadaan sengsara dengan jalan berbuat baik, demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia.
Punarbawa (Samsara)
Kata Punarbhawa berasal dari
bahasa sanskerta, terdiri dari dua kata yaitu: kata punar yang berarti
lagi, kembali dan bhava yang berati menjelma. Jadi, Punarbhawa berarti
kelahiran yang berulang-ulang yang disebut juga dengan Penitisan atau
Samsara. Di dalam pustaka suci weda dikatakan bahwa penjelmaan atma (roh)
yang berulang ulang (samsriti) ke dunia ini disebut samsara. Punarbhawa
atau samsara ini terjadi diakibatkan oleh adanya Hukum Karma, dimana karma yang
jelek menyebabkan atma (roh) menjelma kembali untuk memperbaiki perbuatannya
yang tidak baik, atau karena atma itu masih dipengaruhi oleh Karma Wesana
(bekas-bekas atau sisa-sisa perbuatan)atau kenikmatan duniawi sehingga tertarik
untuk lahir ke dunia kembali. Kelahiran ini adalah Samsara (sengsara) sebagai
hukuman yang diakibatkan oleh perbuatan atau karma dikelahiran yang terdahulu.
. Jangka pembebasan diri dari samsara, tergantung pada perbuatan baik kita yang
lampau ( atita ) yang akan datang ( nagata ) dan sekarang (
wartamana ).
Punarbhawa
berarti kelahiran yang berulang-ulang, yang disebut juga penitisan kembali
(reinkarnasi) atau Samsara. Di dalam Weda disebutkan bahwa
"Penjelmaan jiwatman yang berulang-ulang di dunia ini atau didunia yang
lebih tinggi disebut Samsara. Kelahiran yang berulang-ulang ini membawa akibat
suka dan duka. Samsara atau Punarbhawa ini terjadi oleh karena Jiwatman masih
dipengaruhi oleh kenikmatan, dan kematian akan diikuti oleh kelahiran".
Demikian pula
disebutkan:
Sribhagavan uvacha,
bahuni Ma vyatitani,
janmani Ava Chad rjuna,
ani Ham Venda sarvani,
na tvam paramtapa (Bh. G. IV.5)
bahuni Ma vyatitani,
janmani Ava Chad rjuna,
ani Ham Venda sarvani,
na tvam paramtapa (Bh. G. IV.5)
Artinya :
Sri Bhagawan (tuhan) bersabda, banyak kelahiran-Ku di masa lalu, demikian pula kelahiranmu arjuna semuanya ini Aku tahu, tetapi engkau sendiri tidak,. Parantapa.
Sri Bhagawan (tuhan) bersabda, banyak kelahiran-Ku di masa lalu, demikian pula kelahiranmu arjuna semuanya ini Aku tahu, tetapi engkau sendiri tidak,. Parantapa.
Atman
yang masih diselubungi oleh suksma sarira dan masih terikat oleh adanya kenikmatan
duniawi, menyebabkan Atman itu awidya, sehingga Ia belum bisa kembali bersatu
dengan sumbernya yaitu Brahman (Hyang Widhi). Hal ini menyebabkan atman itu
selalu mengalami kelahiran secara berulang-ulang.
Segala
bentuk prilaku atau perbuatan yang dilakukan pada masa kehidupan yang lampau
menyebabkan adanya bekas (wasana) dalam jiwatman. Dan wasana (bekas-bekas
perbuatan) ini ada bermacam-macam. Jika wasana itu hanya bekas-bekas
keduniawian, maka jiwatman akan lebih cenderung dan gampang ditarik oleh
hal-hal keduniawian sehingga atman itu lahir kembali.
Karmabhumiriya brahman,
phlabhumirasau mata
iha yat kurate karma tat,
paratrobhujyate. (S.S.7)
phlabhumirasau mata
iha yat kurate karma tat,
paratrobhujyate. (S.S.7)
Sebab sebagai
manusia sekarang ini adalah akibat baik dan buruknya karma itu juga akhirnya
dinikmatilah karma phala itu. Artinya baik buruk perbuatan itu sekarang
akhirnya terbukti hasilnya. Selesai menikmatinya, menjelmalah kembali ia,
mengikuti sifat karma phala. Wasana berarti sangskara, sisa-sisa yang ada dari
bau sesuatu yang tinggal bekas-bekasnya saja yang diikuti hukuman yaitu jatuh
dari tingkatan sorga maupun dari kawah-kawah neraka, adapun perbuatan baik
ataupun buruk yang dilakukan di akhirat, tidaklah ia berakibat sesuatu apapun,
oleh karena yang sangat menentukan adalah perbuatan-perbuatan baik atau buruk
yang dilakukan sekarang juga.
Karma
dan Punarbhawa ini merupakan suatu proses yang terjalin erat satu sama lain.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa karma adalah perbuatan yang meliputi
segala gerak, baik pikiran, perkataan maupun tingkah laku. Sedangkan punarbhawa
adalah kesimpulan dari semua karma itu yang terwujud dalam penjelmaan tersebut.
Setiap karma yang dilakukan atas dorongan acubha karma akan menimbulkan dosa
dan Atman akan mengalami neraka serta dalam Punarbhawa yang akan datang akan mengalami
penjelmaan dalam tingkat yang lebih rendah, sengsara, atau menderita dan bahkan
dapat menjadi mahluk yang lebih rendah tingkatannya. Sebaliknya, setiap karma
yang dilakukan berdasarkan cubhakarma akan mengakibatkan Atman (roh) menuju
sorga dan jika menjelma kembali akan mengalami tingkat penjelmaan yang lebih
sempurna atau lebih tinggi.
Di dalam Weda
(S.S.48) dinyatakan sebagai berikut:
"Adharmarucayo mandas,
tiryaggatiparayanah,
krocchram yonimanuprapya,
na windanti sukham janah.
tiryaggatiparayanah,
krocchram yonimanuprapya,
na windanti sukham janah.
Adapun perbuatan orang yang bodoh, senantiasa tetap berlaku menyalahi dharma; setelah ia lepas dari neraka, menitislah ia menjadi binatang, seperti biri-biri, kerbau dan lain sebagainya; bila kelahirannya kemudian meningkat, ia menitis menjadi orang yang hina, sengsara, diombang-ambingkan kesedihan dan kemurungan hati, dan tidak mengalami kesenangan.
Sedangkan
orang yang selalu berbuat baik (cubhakarma), Sarasmuccaya menyebutkan:
"Adapun orang yang selalu melakukan karma baik (cubhakarma), ia dikemudian
hari akan menjelma dari sorga, menjadi orang yang tampan (cantik), berguna,
berkedudukan tinggi, kaya raya dan berderajat mulia. Itulah hasil yang
didapatnya sebagai hasil (phala) dari perbuatan yang baik".
Kesimpulannya,
dengan keyakinan dengan adanya Punarbhawa ini maka orang harus sadar, bahwa
bagaimana kelahirannya tergantung dari karma wasananya. Kalau ia membawa karma
yang baik, lahirlah ia menjadi orang berbahagia, berbadan sehat dan berhasil
cita-citanya. Sebaliknya bila orang membawa karma yang buruk, ia akan lahir menjadi
orang yang menderita. Oleh karena itu kelahiran kembali ini adalah kesempatan
untuk memperbaiki diri untuk meningkat ke taraf yang lebih tinggi.
Iyam hi yonihprathama,
yam prapya jagattpate
atmanam cakyate tratum,
karmabhih cubhalaksanaih (S.S. 4)
yam prapya jagattpate
atmanam cakyate tratum,
karmabhih cubhalaksanaih (S.S. 4)
Menjelma
menjadi manusia itu sungguh-sungguh utama; sebabnya demikian, karena ia dapat
menolong dirinya sendiri dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang)
dengan jalan berbuat baik; demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi
manusia.
Sopanabhutam Swargasya,
manusyam prapya durlabham,
tathamanam samadyad,
dhwamsetana purna yatha. (S.S. 6)
manusyam prapya durlabham,
tathamanam samadyad,
dhwamsetana purna yatha. (S.S. 6)
Kesimpulannya,
pergunakanlah dengan sebaik-baiknya kesempatan menjelma menjadi manusia ini,
kesempatan yang sungguh sulit diperoleh, yang merupakan tangga untuk pergi ke
sorga; segala sesuatu yang menyebabkan agar tidak jatuh lagi, itulah hendaknya
dilakukan.
Diantara
semua mahluk hidup yang ada didunia ini, manusia adalah mahluk yang utama. Ia
dapat berbuat baik maupun buruk, serta dapat melebur perbuatannya yang buruk
dengan perbuatan yang baik. Oleh karena itu seseorang sepatutnya bersyukur dan
berbesar hati lahir sebagai manusia. Karena sungguh tidaklah mudah untuk dapat
dilahirkan menjadi manusia sekalipun manusia hina.
Penyebab
Terjadinya Punarbhava. Punarbhava
itu sesungguhnya adalah penderitan yang akan dirasakan oleh setiap mahluk di
dunia ini, tetapi di sisi lain punarbhava itu juga merupakan sebagai kesempatan
untuk melakukan karma yang baik, adanya punarbhava menurut ajaran agama Hindu
disebabkan adanya karmawasana. Karmawasana muncul dari perbuatan manusia, yang
di pergunakan sebagai pedoman benar atau salah itu dalam ajaran agama Hindu
adalah sabda Tuhan dalam kitab suci. Karma pada masa lampau akan membuat wasana
atau bekas pada atman, sehingga dengan demikian muculah punarbhava. Lamanya
Punarbhava itu di tentukan banyak sedikitnya wasana yang ada pada atman, bila
dilihat dari segi filosofis karma dan Punarbhava itu kedua-duanya adalah suatu
proses yang terjalin erat satu dengan yang lain.
Setiap
karma yang dilakukan oleh seseorang di dorong oleh pikiran, indria dan nafsu
yang tidak sesuai dengan garis kebenaran yang diajarkan oleh agama. Akibat yang
ditimbulkan adalah dosa yang harus ditanggung oleh atman maka itu atman lahir
kembali (punarbhava) yang semua disebabkan oleh karma itu sendiri. Dalam
kehidupan di dunia ini sesungguhnys yang sangat banyak perbuatan yang di liputi
oleh sad ripu, sad atatayi, dan sapta timira, akan membawa seseorang dalam
penderitan, untuk dapat menghilangkan penyebab Punarbhava itu hendaklah
seseorang dapat melenyapkan penyebab penderitan itu sendiri dengan jalan selalu
berusaha mawas diri kearah yang benar.
Adapun
tangga yang patut ditempuh untuk dapat membebaskan diri dari hukum punarbhava
itu adalah kesusilan, dana punya, budi luhur, pengabdian yang suci dan
kebajikan itu sendiri. Memang kita sulit membebas diri dari hukum punarbhava
kecuali kita bisa melakukan hal-hal yang berdasarkan ajaran agama seperti yang
dilakukan orang-orang suci seperti maharsi, itu pun hanya sebagian orang-orang
suci yang bisa melakukan, karena masih banyak terikat oleh keduniawian.
Dalam kehidupan sehari-hari maupun lingkungan bermasyarakat dapat kita
lihat dan kita rasakan, penyebab terjadinya punarbhawa atau kelahiran kembali
seperti: Adanya perbedaan kondisi kehidupan manusia di dunia seperti
kaya-miskin, bahagia-sengsara, tanpan-cacat, dan sebagainya,walaupun Tuhan /
Brahman diyakini bahwa maha adil, pengasih dan penyayang.
Sebab
terjadinya Punarbhawa seperti, ingin memperbaiki diri menuju kesempurnaan agar
roh dapat mencapai Moksa. Mengenai kebenaran adanya punarbhawa, kitab suci
memberikan kesaksian sebagai berikut :
Bahūni me vyatītāni
janmāni tava cārjuna
veda sarvāni Tāny aham
vettha parantapa. na tvam
(Bh. Gita : IV.5)
Artinya :
Banyak engkau,
O Arjuna, semua itu Aku ketahui, tetapi engkau tidak dapat mengetahuinya kelahirian (kehidupan yang telah kujalani dan demikian pula.
2.3 Proses Terjadinya Punarbhava
janmāni tava cārjuna
veda sarvāni Tāny aham
vettha parantapa. na tvam
(Bh. Gita : IV.5)
Artinya :
Banyak engkau,
O Arjuna, semua itu Aku ketahui, tetapi engkau tidak dapat mengetahuinya kelahirian (kehidupan yang telah kujalani dan demikian pula.
2.3 Proses Terjadinya Punarbhava
Terjadinya
punarbhava diakibatkan manusia di dunia ini masih melakukan hal-hal yang tidak
baik, selalu mencapai atau mencari yang diinginkan melalui cara yang tidak
baik, seperti KKN, mencuri milik orang lain, dll. Dikarenakan manusia di dunia
ini masih diliputi oleh sad ripu, sad atatayi, sarta timira, makanya punarbhava
itu selalu ada dalam diri manusia, akibat perbuatan yang dilakukannya tidak
sesuai dengan ajaran agama. Selain itu juga selama isi bumi masih ada maka
proses terjadinya punarbhawa akan tetap ada. Jadi proses terjadinya Punarbhawa,
Setelah roh selesai menikmati hasil perbuatan di alam Roh atau Bwah Loka,
melahirkan kembali roh tersebut. Kelahiran tersebut seseui dengan hasil
perbuatannya. Jikalau roh disertai dengan hasil perbuatan baik, maka akan lahir
Sorga yang disebut Swarga Syuta dan menjadi mahluk utama.
Kelahiran atma yang berulang
ulang ke dunia ini membawa akibat suka duka. Didalam kitab suci bhagawangita
Bab IV. 5 Sri Krsna bersabda:
Sribhagavan
uvaca Bahuni me vyatitani janmani tava carjuna aham veda sarvani na twam vettha
parantapa
Artinya Sri
Bhagawan berkata :
Banyak kelahiran-Ku di masa lalu
demikian dan pula kelahiranmu,
Arjuna;ini aku tahu tetapi engkau sendiri tidak, parantapa.
Arjuna;ini aku tahu tetapi engkau sendiri tidak, parantapa.
Setiap karma yang dilakukan atas
dorongan indria dan kenafsuan adalah Asubha Karma karena akibatnya akan
menimbulkan dosa, dan atma akan mengalami Neraka serta selanjutnya akan
mengalami punarbhawa dalam tingkat yang lebih rendah. Demikian pula sebaliknya
bahwa karma yang dilakukan atas dasar Buddhi Sattvam adalah Buddhi
Dharma (Subha Karma) yang menyebabkan atma akan mendapat surga dan jika
menjelma kembali akan mengalami tingkat penjelmaan yang sempurna dan lebih
tinggi. Atma yang menjelma dari surga akan menjelma menjadi manusia yang hidup
bahagia didunia dan kebahagiaan ini akan dirasakan dalam penjelmaan yang akan
datang yang disebut Surga syuta.Sedangkan atma yang menjelma dari Neraka
akan menjadi makhluk yang nista, mengalami banyak penderitaan dalam hidup di
dunia. Penjelmaan dalam penderitaan ini disebut kelahiran Neraka Syuta.
Jadi dengan demikian tingkat dan keadaan penjelmaan itu berbeda-beda tergantung
dari jenis Subha dan Asubha Karma yang diperbuatnya.
Pembebasan
dari samsara berarti mencapai penyempurnaan atma dan mencapai moksa yang dapat
dicapai di dunia ini juga. Selanjutnya keyakinan adanya Punarbhawa ini akan
menimbulkan tindakan sebagai berikut :
-
Pitra Yadnya Yaitu memberikan korban suci terhadap leluhur kita, karena kita
percaya leluhur itu masih hidup di dunia ini yang lebih halus.
- Pelaksanaan dana Punya ( amal saleh ), karena perbuatan
ini membawa kebahagiaan setelah meninggal.
- Berusaha menghindari semua perbuatan buruk karena jika
tidak, akan membawa ke alam neraka atau menglami kehidupan yang lebih buruk
lagi.
Pengalaman Hidup yang merupakan
bukti dari adanya Punarbhawa tersebut, bisa dilihat pada Lampiran halaman terakhir.
3.7
Moksa
Dalam keyakinan umat hindu yang
menjadi tujuan hidup manusia di alam ini adalah Moksa. Dalam kitab suci
weda , dinyatakan “Moksartham jagadhita ya ca iti dharma” yang artinya,
bahwa tujuan agama (Dharma) itu adalah untuk mencapai Moksa (Mokshartham)
dan kesejahteraan umat manusia (Jagadhita).
Kata moksa berasal dari bahasa
Sanskerta, yaitu dari kata Muc yang berarti membebaskan atau melepaskan.
Dengan demikian, kata Moksa berarti kelepasanan kebebasan. Dari segi istilah,
moksa disamakan dengan nirwana dan nisreyasa atau kaparamarthan.
a. Mencapai
Moksa.
Untuk
mencapai moksa seseorang harus mempunyai persyaratan2 tertentu sehingga proses
mencapai moksa dapat berjalan sesuai dengan norma2 ajaran agama Hindu. Dalam
mencapai Moksa dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
1. Dharma.
Dalam
ajaran agama Hindu yang terdapat dalam Catur Parusanta dijelaskan bahwa tujuan
dari kehidupan adalah bagaimana untuk menegakkan Dharma, setiap tindakan harus berdasarkan
kebenaran tidak ada dharma yang lebih tinggi dari kebenaran. Dalam Bagawad Gita
disebutkan bahwa Dharma dan Kebenaran adalah nafas kehidupan. Krisna dalam
wejangannya kepada Arjuna mengatakan bahwa dimana ada Dharma, disana ada
Kebajikan dan Kesucian, dimana Kewajiban dan Kebenaran dipatuhi disana ada
kemenangan. Orang yang melindungi dharma akan dilindungi oleh dharma maka
selalu tempuhlah kehidupan yang suci dan terhormat.
Dalam
zaman edan saat ini semua orang mengabaikan kebenaran, orang sudah menghalalkan
segala cara untuk mencapai tujuan, krisis moral sudah meraja lela dimana mana,
kebenaran dan keadilan sudah langka, orang sudah tidak mengenal budaya malu,
semua perbuatannya dianggap sudah benar dan normal. Sebenarnya Dharma tidak
pernah berubah, Dharma telah ada pada zaman dahulu, zaman sekarang dan zaman
yang akan datang, ada sepanjang zaman tetapi setiap zaman mempunyai
karateristik lain2 dalam melakukan latihan kerohanian (spiritual). Untuk Kerta
Yuga latihan kerohanian yang baik adalah melakukan Meditasi, untuk Treta Yuga
latihan kerochanian yang baik adalah dengan melakukan Yadnya atau kurban, untuk
Dwapara latihan kerochanian yang baik adalah dengan melakukan Yoga yaitu
upacara pemujaan dan untuk Kali Yuga latihan kerochanian yang baik adalah
dengan melakukan Nama Smarana yaitu mengulang ngulang atau menyebut nama Tuhan
yang suci.
2. Pendekatan kepada Yang Widhi Wasa
Untuk
mendekatkan diri kehadapan Yang Widhi Wasa ada beberapa cara yang dilakukan
Umat Hindu yaitu cara Darana (menetapkan cipta), Dhyana (memusatkan cipta), dan
Semadi (mengheningkan cipta). Dengan melakukan latihan rochani , terutama
dengan penyelidikan bathin, akan dapat menyadari kesatuan dan menikmati sifat
Tuhan yang selalu ada dalam diri kita. Apabila sifat2 Tuhan sudah melekat dalam
diri kita maka kita sudah dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa sehingga segala
permohonan kita akan dikabulkan dan kita selalu dapat perlindungan dan
keselamatan.
3. Kesucian.
Untuk
memperoleh pengetahuan suci, dan menghayati Yang Widhi Wasa dalam keberagaman
dinyatakan dalam doa Upanishad yang termasyur : Asatoma Satgamaya, Tamasoma
Jyothir Gamaya, Mrityorma Amritan Gamaya yang artinya, Tuntunanlah kami dari
yang palsu ke yang sejati, tuntunlah kami dari yang gelap ke yang terang,
tuntunlah kami dari kematian ke kekalan.
Setiap
kita melakukan kegiatan2, kita biasakan untuk memohon tuntunan kehadapan Yang
Widhi Wasa agar kita selamat dan selalu dilindungi. Pekerjaan apapun kita
lakukan, apabila kita bekerja demi Tuhan dan dipersembahkan kehadapan Yang
Widhi Wasa, maka pekerjaan tersebut mempunyai nilai yang sangat tinggi. Dengan
menghubungkan pekerjaan tersebut dengan Yang Widhi Wasa, maka ia menjadi suci
dan mempunyai kemampuan dan nilai yang tinggi.
Tujuan
dari kehidupan kita adalah agar atman terbebas dari triguna dan menyatu dengan
Para atman. Didalam Weda disebut yaitu Moksartham Jaga Dhitaya Ca Iti Dharmah
yang artinya adalah tujuan agama (Dharma) kita adalah untuk mencapai moksa
(moksa artham) dan kesejahteraan umat manusia (jagadhita).
Ciri-ciri orang
yang telah mencapai jiwatman mukti adalah.
1. Selalu mendapat ketenangan lahir
maupun bathin.
2. Tidak terpengaruh dengan suasana
suka maupun duka.
3. Tidak terikat dengan keduniawian.
4. Tidak mementingkan diri sendiri,
selalu mementingkan orang lain (masyarakat banyak).
b. Tingkatan-
tingkatan Moksa
Untuk
mencapai moksa juga mempunyai tingkatan-tingkatan tergantung dari karma (perbuatannya) selama hidupnya
apakah sudah sesuai dengan ajaran-ajaran agama Hindu. Tingkatantingkatan seseorang yang telah mencapai moksa dapat dikatagorikan
sebagai berikut.
1. Apabila seorang yang sudah mencapai
kebebasan rochani dengan meninggalkan mayat disebut Moksa.
2. Apabila seorang yang sudah mencapai
kebebasan rochani dengan tidak meninggalkan mayat tetapi meninggalkan bekas2
misalnya abu, tulang disebut Adi Moksa.
3. Apabila seorang yang telah mencapi
kebebasan rochani yang tidak meninggalkan mayat serta tidak membekas disebut
Parana Moksa.
Moksa ini dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu :
Samipya, Sarupya, Salokya dan Sayujya. Adapun penjelasannya masing-masing
adalah sebagai berikut :
1. Samipya
adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa hidupnya
didunia ini.
2. Sarupya
(sadharmya) adalah suatu kebebasan yang didapat oleh seseorang di dunia
ini karena kelahirannya.
3. Salokya
adalah suatu kebebasan yang didapat oleh Atman, dimana atman
itu sendiri telah berada dalam posisi dan kesadaran yang sama dengan tuhan.
4. ayujya
adalah suatu tingkat kebebasan yang tertinggi, dimana Atman
telah dapat bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa (Brahman). Adapun tingkatan-tingkatan moksa
itu, yaitu : Jiwa Mukti, Wideha Mukti (Karma Mukti), Purna Mukti. Adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut :
a.
Jiwa Mukti
adalah suatu kebebasan yang didapatkan oleh seseorang dalam hidupnya didunia
ini, dimana Atman tidak terpengaruh oleh indriya dan usur-unsur dari maya
(keduniawian).
b.
Wideha Mukti (Karma Mukti) adalah
suatu kebebasan yang dapat dicapai semasa hidupnya.
c.
Purna Mukti
adalah kebebasan yang paling sempurna dan yang tertinggi, dimana Atman telah
bersatu dengan Brahman (tuhan).
Cara Mencapai Moksa
Moksa adalah alam Brahman yang
sangat Gaib, dan berada diluar batas pemikiran umat manusia. Yang dimaksud
dengan kebebasan dalam pengertian Moksa ialah terlepasnya Atman dari ikatan
maya, sehingga dapat menyatu dengan Brahman. Bagi orang yang telah
mencapai Moksa berarti mereka telah mencapai alam Sat Cit Ananda, yaitu
kebahagiaan yang tertinggi. Jalan yang ditunjuk oleh ajaran agama untuk
mencapai Moksa adalah Catur Marga Yoga yaitu adalah empat jalan yoga
untuk mencapai moksa, bagianya adalah:
1. Bhakti
Marga Yoga
Bhakti Marga Yoga adalah proses atau cara mempersatukan atman dengan brahman dengan berlandaskan atas dasar cinta kasih yang mendalam kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kata “bhakti” berarti hormat, taat, sujud, menyembah, persembahan dan kasih. Seorang Bhakta (orang yang menjalani Bhakti Marga)dengan sujud dan cinta, menyembah dan berdoa dengan pasrah mempersembahkan jiwa raganya sebagai Yajna kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Jadi untuk lebih jelasnya seorang Bhakta akan selalu berusaha melenyapkan kebenciannya kepada semua makhluk. Sebaliknya ia selalu berusaha memupuk dan mengembangkan sifat-sifat maitri, karuna mudita dan upeksa (Catur Paramita).
Bhakti Marga Yoga adalah proses atau cara mempersatukan atman dengan brahman dengan berlandaskan atas dasar cinta kasih yang mendalam kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kata “bhakti” berarti hormat, taat, sujud, menyembah, persembahan dan kasih. Seorang Bhakta (orang yang menjalani Bhakti Marga)dengan sujud dan cinta, menyembah dan berdoa dengan pasrah mempersembahkan jiwa raganya sebagai Yajna kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Jadi untuk lebih jelasnya seorang Bhakta akan selalu berusaha melenyapkan kebenciannya kepada semua makhluk. Sebaliknya ia selalu berusaha memupuk dan mengembangkan sifat-sifat maitri, karuna mudita dan upeksa (Catur Paramita).
2. Karma
Marga Yoga
Karma Marga Yoga adalah jalan ataau cara untuk mencapai Moksa dengan perbuatan atau kebajikan tanpa pamrih. Seorang karmin (orang yang menjalani Karma Marga Yoga) ia akan selalu berpedoman pada Rame ing gawe sepi ing pamrih, yang artinya bekerja keras tanpa menginginkan hasil.
Karma Marga Yoga adalah jalan ataau cara untuk mencapai Moksa dengan perbuatan atau kebajikan tanpa pamrih. Seorang karmin (orang yang menjalani Karma Marga Yoga) ia akan selalu berpedoman pada Rame ing gawe sepi ing pamrih, yang artinya bekerja keras tanpa menginginkan hasil.
3. Jnana
Marga Yoga
Jnana artinya kebijaksanaan filsafat (pengetahuan). Yoga bersal dari urat kata Yuj artinya, menghubungkan diri. Jadi, Jnana Marga Yoga artinya, mempersatukan jiwatman dengan paramatman yang dicapai dengan jalan mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat pembebasan diri dari ikatan-ikatan keduniawian. Seorang yang mempelajari ajaran Jnana Marga Yoga disebut Jnanin.
Jnana artinya kebijaksanaan filsafat (pengetahuan). Yoga bersal dari urat kata Yuj artinya, menghubungkan diri. Jadi, Jnana Marga Yoga artinya, mempersatukan jiwatman dengan paramatman yang dicapai dengan jalan mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat pembebasan diri dari ikatan-ikatan keduniawian. Seorang yang mempelajari ajaran Jnana Marga Yoga disebut Jnanin.
4. Raja
Marga Yoga
Raja Marga Yoga adalah Suatu jalan mistik (rohani) untuk mencapai kelepasan atau Moksa. Melalui Raja Marga Yoga seseorang akan lebih cepat mencapai Moksa, tetapi tangtangan yang dihadapipun lebih berat. Ada tiga jalanpelaksanaan yang ditempuh oleh para Raja Yogin (orang yang menjalani Raja Marga Yoga), yaitu melaksanakan Tapa Brata, Yoga dan Samadhi. Tapa dan Brata merupakan suatu latihan untuk mengendalikan emosi atau hawa nafsu yang ada dalam diri kita kearah yang positif sesuai dengan arah kitab suci. Sedangkan Yoga dan Samadhi adalah latihan untuk dapat menyatukan Atman dengan Brahman dengan melakukan meditasi atau pemusatan pikiran.
Raja Marga Yoga adalah Suatu jalan mistik (rohani) untuk mencapai kelepasan atau Moksa. Melalui Raja Marga Yoga seseorang akan lebih cepat mencapai Moksa, tetapi tangtangan yang dihadapipun lebih berat. Ada tiga jalanpelaksanaan yang ditempuh oleh para Raja Yogin (orang yang menjalani Raja Marga Yoga), yaitu melaksanakan Tapa Brata, Yoga dan Samadhi. Tapa dan Brata merupakan suatu latihan untuk mengendalikan emosi atau hawa nafsu yang ada dalam diri kita kearah yang positif sesuai dengan arah kitab suci. Sedangkan Yoga dan Samadhi adalah latihan untuk dapat menyatukan Atman dengan Brahman dengan melakukan meditasi atau pemusatan pikiran.
Seorang yogin akan menghubungkan dirinya memalui
Astangga Yoga yaitu Delapan tahapan Yoga untuk mencapai Moksa. Astangga Yoga
diajarkan oleh Mara Resi Patanjali dalam bukunya yang disebut Yoga Sutra
Patanjali yaitu sebagai berikut
1.
Yama
yaitu suatu bentuk larangan yang harus dilakukan seseorang dari segi jasmani.
2.
Nyama
yaitu Pengendalian diri yang lebih bersifat Rohani.
3.
Asana
yaitu Sikap duduk yang menyenangkan, teratur dan disiplin.
4.
Pranayama
yaitu mengatur pernafasan sehingga menjadi sempurna.
5.
Pratyahara
yaitu mengontrol dan mengendalikan indriyaa dari ikatan objeknya sehingga orang
dapat melihat hal-hal yang suci.
6.
Dharana
yaitu usaha-usaha untuk menyatukan pikiran dengan sasaran yang diinginkan.
7.
Dhayana
yaitu pemusatan pikiran yang tenang, tidak tergoyahkan pada suatu objek.
8.
Samaddhi
yaitu penyatuan Atma.
Oleh sebab itu marilah kita melatih diri untuk melaksanakan
ajaran Astangga Yoga dengan tuntutan seorang guru yang telah memiliki kemampuan
dalam hal Yoga. Moksa adalah terlepasnya Atman dari belenggu maya (bebas dari
pengaruh karma dan punarbhawa) dan akhirnya bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa.
1 komentar:
Bagaimana caranya panca sradha dapat memberi pengaruh terhadap kualitas hidup manusia ? Apakah hanya dengan percaya terhadap adanya Brahma, Atman, Karma Pala, Punarbawa, dan Moksa saja?
Posting Komentar