Kamis, 22 November 2018

ASTA KOSALA dan ASTA BUMI.



Yang dimaksud dengan Asta Kosala adalah aturan tentang bentuk-bentuk niyasa (symbol) pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan) dan hiasan.

Yang dimaksud dengan Asta Bumi adalah aturan tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar pelinggih.

Aturan tentang Asta Kosala dan Asta Bumi ditulis oleh Pendeta: Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan Panyarikan. Uraian mengenai Asta Kosala khusus untuk bangunan Padmasana telah dikemukakan pada bab: Hiasan Padmasana, Bentuk-bentuk Padmasana dan Letak Padmasana.

Asta Bumi menyangkut pembuatan Pura atau Sanggah Pamerajan adalah sebagai berikut:

1Tujuan Asta Bumi adalah Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi Mendapat vibrasi kesucian Menguatkan bhakti kepada Hyang Widhi Luas halaman Memanjang dari Timur ke Barat ukuran yang baik adalah: Panjang dalam ukuran "depa" (bentangan tangan lurus dari kiri ke kanan dari pimpinan/klian/Jro Mangku atau orang suci lainnya): 2,3,4,5,6,7,11,12,14,15,19. Lebar dalam ukuran depa: 1,2,3,4,5,6,7,11,12,14,15. Alternatif total luas dalam depa: 2x1,3x2, 4x3, 5x4, 6x5, 7x6, 11x7, 12x11, 14x12, 15x14, 19x15.bMemanjang dari Utara ke Selatan ukuran yang baik adalah: Panjang dalam ukuran depa: 4,5,6,13,18. Lebar dalam ukuran depa: 5,6,13. Alternatif total luas dalam depa: 6x5, 13x6, 18x13

Jika halaman sangat luas, misalnya untuk membangun Padmasana kepentingan orang banyak seperti Pura Jagatnatha, dll. boleh menggunakan kelipatan dari alternatif yang tertinggi. Kelipatan itu: 3 kali, 5 kali, 7 kali, 9 kali dan 11 kali.

Misalnya untuk halaman yang memanjang dari Timur ke Barat, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah: 3x(19x15), 5x(19x15), 7x(19x15), 9x(19x15), 11x(19x15).

Untuk yang memanjang dari Utara ke Selatan, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah: 3x(18x13), 5x(18x13), 7x(18x13), 9x(18x13), 11x(18x13).

HULU-TEBEN.

"Hulu" artinya arah yang utama, sedangkan "teben" artinya hilir atau arah berlawanan dengan hulu. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, ada dua patokan mengenai hulu yaitu

Arah Timur, dan

Mengenai arah Timur bisa diketahui dengan tepat dengan menggunakan kompas.

Arah kaja adalah letak gunung atau bukit.

Cara menentukan lokasi Pura adalah menetapkan dengan tegas arah hulu, artinya jika memilih timur sebagai hulu agar benar-benar timur yang tepat, jangan melenceng ke timur laut atau tenggara. Jika memilih kaja sebagai hulu, selain melihat gunung atau bukit juga perhatikan kompas. Misalnya jika gunung berada di utara maka hulu agar benar-benar di arah utara sesuai kompas, jangan sampai melenceng ke arah timur laut atau barat laut, demikian seterusnya. Pemilihan arah hulu yang tepat sesuai dengan mata angin akan memudahkan membangun pelinggih-pelinggih dan memudahkan pelaksanaan upacara dan arah pemujaan.

BENTUK HALAMAN.

Bentuk halaman pura adalah persegi empat sesuai dengan ukuran Asta Bumi sebagaimana diuraikan terdahulu. Jangan membuat halaman pura tidak persegi empat misalnya ukuran panjang atau lebar di sisi kanan - kiri berbeda, sehingga membentuk halaman seperti trapesium, segi tiga, lingkaran, dll. Hal ini berkaitan dengan tatanan pemujaan dan pelaksanaan upacara, misalnya pengaturan meletakkan umbul-umbul, penjor, dan Asta kosala.

PEMBAGIAN HALAMAN.

Untuk Pura yang besar menggunakan pembagian halaman menjadi tiga yaitu:

Utama MandalaMadya MandalaNista Mandala.

Ketiga Mandala itu merupakan satu kesatuan, artinya tidak terpisah-pisah, dan tetap berbentuk segi empat; tidak boleh hanya utama mandala saja yang persegi empat, tetapi madya mandala dan nista mandala berbentuk lain.

Utama mandala adalah bagian yang paling sakral terletak paling hulu, menggunakan ukuran Asta Bumi;

Madya Mandala adalah bagian tengah, menggunakan ukuran Asta Bumi yang sama dengan utama Mandala;

Nista Mandala adalah bagian teben, boleh menggunakan ukuran yang tidak sama dengan utama dan nista mandala hanya saja lebar halaman tetap harus sama.

Di Utama mandala dibangun pelinggih-pelinggih utama, di madya mandala dibangun sarana-sarana penunjang misalnya bale gong, perantenan (dapur suci), bale kulkul, bale pesandekan (tempat menata banten), bale pesamuan (untuk rapat-rapat), dll. Di nista mandala ada pelinggih

"Lebuh" yaitu stana Bhatara Baruna, dan halaman ini dapat digunakan untuk keperluan lain misalnya parkir, penjual makanan, dll.

Batas antara nista mandala dengan madya mandala adalah "Candi Bentar" dan batas antara madya mandala dengan utama mandala adalah "Gelung Kori", sedangkan nista mandala tidak diberi pagar atau batas dan langsung berhadapan dengan jalan.

MENETAPKAN PEMEDAL.

Pemedal adalah gerbang, baik berupa candi bentar maupun gelung kori. Cara menetapkan pemedal sebagai berikut: 1) Ukur lebar halaman dengan tali. 2) Panjang tali itu dibagi tiga. 3) Sepertiga ukuran tali dari arah teben adalah "as" pemedal. Dari as ini ditetapkan lebarnya gerbang apakah setengah depa atau satu depa, tergantung dari besar dan tingginya bangunan candi bentar dan gelung kori. Yang dimaksud dengan teben dalam ukuran pemedal ini adalah arah yang bertentangan dengan hulu dari garis halaman pemedal. Misalnya hulu halaman Pura ada di Timur, maka teben dalam menetapkan gerbang tadi adalah utara, kecuali di utara ada gunung maka tebennya selatan, demikian seterusnya. Penetapan gerbang candi bentar dan gelung kori ini penting untuk menentukan letak pelinggih sesuai dengan asta kosala.



JARAK ANTAR PELINGGIH.

Jarak antar pelinggih yang satu dengan yang lain dapat menggunakan ukuran satu "depa", kelipatan satu depa, "telung tapak nyirang", atau kelipatan telung tapak nyirang. Pengertian "depa" sudah dikemukakan di depan, yaitu jarak bentangan tangan lurus dari ujung jari tangan kiri ke ujung jari tangan kanan. Yang dimaksud dengan "telung tampak nyirang" adalah jarak dari susunan rapat tiga tapak kaki kanan dan kiri (dua kanan dan satu kiri) ditambah satu tapak kaki kiri dalam posisi melintang. Baik depa maupun tapak yang digunakan adalah dari orang yang dituakan dalam kelompok "penyungsung" (pemuja) Pura. Jarak antar pelinggih dapat juga menggunakan kombinasi dari depa dan tapak, tergantung dari harmonisasi letak pelinggih dan luas halaman yang tersedia. Jarak antar pelinggih juga mencakup jarak dari tembok batas ke pelinggih-pelinggih. Ketentuan-ketentuan jarak itu juga tidak selalu konsisten, misalnya jarak antar pelinggih menggunakan tapak, sedangkan jarak ke "Piasan" dan Pemedal (gerbang) menggunakan depa. Ketentuan ini juga berlaku bagi bangunan dan pelinggih di Madya Mandala.

PELINGGIH (STANA) YANG DIBANGUN. Jika bangunan inti hanya Padmasana, sebagaimana tradisi yang ada di luar Pulau Bali, maka selain Padmasana dibangun juga pelinggih TAKSU sebagai niyasa pemujaan Dewi Saraswati yaitu saktinya Brahma yang memberikan manusia kemampuan belajar/mengajar sehingga memiliki pengetahuan, dan PANGRURAH sebagai niyasa pemujaan Bhatara Kala yaitu "putra" Siwa yang melindungi manusia dalam melaksanakan kehidupannya di dunia. Bangunan lain yang bersifat sebagai penunjang adalah: PIYASAN yaitu bangunan tempat bersemayamnya niyasa Hyang Widhi ketika hari piodalan, di mana diletakkan juga sesajen (banten) yang dihaturkan. BALE PAMEOSAN adalah tempat Sulinggih memuja. Di Madya Mandala dibangun BALE GONG, tempat gambelan, BALE PESANDEKAN, tempat rapat atau menyiapkan diri dan menyiapkan banten sebelum masuk ke Utama Mandala. BALE KULKUL yaitu tempat kulkul (kentongan) yang dipukul sebagai isyarat kepada pemuja bahwa upacara akan dimulai atau sudah selesai.

Jika ingin membangun Sanggah pamerajan yang lengkap, bangunan niyasa yang ada dapat "turut" 3,5,7,9, dan 11. "Turut" artinya "berjumlah". Turut 3: Padmasari, Kemulan Rong tiga (pelinggih Hyang Guru atau Tiga Sakti: Brahma, Wisnu, Siwa), dan Taksu. Jenis ini digunakan oleh tiap keluarga di rumahnya masing-masing. Turut 5: Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu, Pangrurah, "Baturan Pengayengan" yaitu pelinggih untuk memuja ista dewata yang lain. Turut 7: adalah turut 5 ditambah dengan pelinggih Limas cari (Gunung Agung) dan Limas Catu (Gunung Lebah). Yang dimaksud dengan Gunung Agung dan Gunung Lebah (Batur) adalah symbolisme Hyang Widhi dalam manifestsi yang menciptakan "Rua Bineda" atau dua hal yang selalu berbeda misalnya: lelaki dan perempuan, siang dan malam, dharma dan adharma, dll. Turut 9 adalah turut 7 ditambah dengan pelinggih Sapta Petala dan Manjangan Saluwang. Pelinggih Sapta Petala adalah pemujaan Hyang Widhi sebagai penguasa inti bumi yang menyebabkan manusia dan mahluk lain dapat hidup. Manjangan Saluwang adalah pemujaan Mpu Kuturan sebagai Maha Rsi yang paling berjasa mempertahankan Agama Hindu di Bali. Turut 11 adalah turut 9 ditambah pelinggih Gedong Kawitan dan Gedong Ibu. Gedong Kawitan adalah pemujaan leluhur laki-laki yang pertama kali datang di Bali dan yang mengembangkan keturunan. Gedong Ibu adalah pemujaan leluhur dari pihak wanita (istri Kawitan).

Cara menempatkan pelinggih-pelinggih itu sesuai dengan konsep Hulu dan Teben, di mana yang diletakkan di hulu adalah Padmasari/Padmasana, sedangkan yang diletakkan di teben adalah pelinggih berikutnya sesuai dengan turut seperti diuraikan di atas. Bila halamannya terbatas sedangkan pelinggihnya perlu banyak, maka letak bangunan dapat berbentuk L yaitu berderet dari pojok hulu ke teben kiri dan keteben kanan.

Sumber: Bhagawan Dwija

Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi, Geria Tamansari Lingga Ashrama, Jalan Pantai Lingga, Banyuasri, Singaraja - Bali. Telpon: 0362-22113, 27010. HP 081-797-1986-4

Bangunan diproses penjiwaannya sebagai suatu kelahiran ke bumi dengan upakara sebagaimana layaknya suatu kelahiran dan kehidupan. Upacara ngulihin karang adalah suatu upakara semacam dikawinkan antara bangunan dengan pemilik-pemakainya.

Membangun Pura dengan Kesadaran Mendasar
Oleh N. Gelebet

Menyukuri kesejahteraan karunia Hyang Widhi, dibangunlah pura sebagai tempat pemujaan dalam manifestasinya, spirit geginan dan roh leluhur yang diharapkan menyatu dengan-Nya untuk kerahayuan jagat. Pembangunan tempat pemujaan berkembang dari seonggok batu untuk panjatan memuja yang di langit, meru bayangan gunung, padma kemanunggalan dan kini penampilan jamak semarak dengan kemanjaan teknologi.

Kesadaran mendasar dalam membangun pura memang seharusnya melestarikan landasan konseptualnya. Peranan dinas, instansi yang mengambil alih peran krama, dengan pengalihan hak atas bukti pura dan kebijakan meniadakan prosesi pratima yang ditinggal krama yang tidak lagi ngayah kini tanpa karang ayahan, merupakan gejala kesadaran palsu yang terjadi dalam beberapa kasus.

Proses Membangun Pura

Berawal dari nyanggra pengempon, pengemong dan penyiwi, dilanjutkan dengan nyanyan dialog ritual dengan sesuhunan yang distanakan di pura yang dibangun. Tujuannya, untuk mendapatkan kesepakatan atas kesepahaman sekala-niskala apa dan bagaimana membangun pura. Kemudian dengan penetapan program dan penjadwalannya sesuai subadewasa dilakukan nyikut, ngruak karang dan nyangga ngurip gegulak, ngadegang sanggar wiswakarma. Keberadaan gegulak dipandang sebagai acuan hidup modul pendimensian, setelah melalui ritus pengurip dan pengaci, nantinya wajib di-pralina setelah bangunan selesai di-plaspas. Dengan penjiwaan sejak awal, keseimbangan atma, angga lan khaya wewangunan dapat terwujud.

Selanjutnya ngelakar sesuai keperluan dan ketentuan penggunaan bahan untuk bangunan pura yang masing-masing peruntukannya (parahyangan, pawongan, palemahan) ada ketentuan jenis kayunya. Di mana dan bagaimana mendapatkannya, melalui permakluman atau permohonan di ulun tegal yang mewilayahi. Pantangan kayu tumbuh di sempadan sungai, setra, di batas, rebah tersangkut, melintang jalan, tunggak wareng dan lainnya wajib ditaati sebagai suatu keyakinan.

Pekerjaan komponen konstruksi dilakukan di jaba sisi pura atau di suatu tempat yang wajar. Pelaku tukang wajib menaati tata cara kramaning tukang sesuai ketentuan dan arahan undagi manggalaning wewangunan. Dalam proses pengerjaan, setiap tahap tertentu melalui ritus upakara yang dipimpin undagi, tan keneng cuntaka, namun wajib menaati brata ke-undagi-an. Dalam menjalankan profesinya, undagi atas nama (ngelinggihang) Hyang Wiswakarma. Keberadaannya serentak menyandang kapican, kawikon dan katakson, bagi undagi yang telah menjalani prosesnya sesuai ketentuan tatwa, jnana dan upakara.

Bahan bangunan, tukang dan pekerja mengutamakan dari wilayah sekitar. Peranan teknologi bukan hal yang ditabukan. Menghindari pelaksanaan sistem tender yang sulit dipertanggungjawabkan secara kualitas, legalitas ritual maupun proses penjiwaannya. Dengan diabaikannya filsafat, konseptual dan tatwa acuan tata cara membangun pura, sulit diharapkan unsur penjiwaannya sehingga megah maraknya bangunan pura yang kini diwacanakan sebagai kehampaan tanpa taksu karismatis.

Pemugaran Pura-pura kuno yang menggusur katakson-nya batu-batu nunggul megalitikum, mengembangkan belasan pelinggih sepertinya mengalami kemunduran monis yang dikembalikan ke polis. Memang berpeluang untuk tampil megah meriah di kulit luar, namun hampa tanpa magis power yang menjiwai.

Pembangunan pura tanpa pedoman Asta Kosali, tanpa acuan gegulak modul dimensi, cenderung tampil sebagai bangunan rekreasi berlanskap buatan berornamen mengada-ada.

Pekerjaan Konstruksi

Setelah nyanggra, nyanjan, nyikut dan nglakar, pekerjaan konstruksi dilanjutkan dengan ngaug, ngakit dan ngasren yang diakhiri dengan ngurip/melaspas dan ngenteg linggih dengan rangkaiannya sesuai tingkatan, runut dan runtutannya yang rumit. Peranan undagi dari tahap 1 s.d. 8 dalam satu paket: atma, angga, khaya seutuhnya sesuai ketentuan khusus Asta Kosali yang sulit dipahami profesi lain.

Kemudian ngenteg linggih berdasarkan tegak wali manut tengeran, sasih atau wewaran (solar, lunar atau galaxy system). Pelaksanaannya sesuai ketentuan dudonan upacara dengan upakara dan pamuput-nya masing-masing. Peranan undagi dalam rangkaian yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat ini, sebatas pengamatan uji fungsi apakah semua unit, bagian dan komponen sudah berfungsi sesuai dengan hakikat akidah ruang ritual yang direncanakan.

Pekerjaan konstruksi ngaug sunduk saat posisi matahari di mana bayangan garis atas lubang depan berimpit dengan garis bawah lubang belakang adalah saat tepat yang ditetapkan. Posisi ngaug betaka beti meru, pancung ngakit atap limasan nasarin dan mendem pedagingan adalah ritus-ritus yang diyakini sebagai penjiwaan yang mampu mengantisipai ancaman bencana gempa, petir dan badai angin ngelinus puting beliung. Dengan kemampuan tahan bencana menjadikan karisma taksu suatu bangunan semakin diyakini keunggulan kebenarannya yang memang terbukti dalam kajian arsitektural tradisional.

Ngasren wewangunan (pekerjaan finishing) tidak dibenarkan dengan menghilangkan sifat-sifat fisis, chemis dan karakter estetika bahan alami yang membawa keindahan alami kodrati. Pewarnaan justru merusak di saat usangnya yang semakin parah manakala perawatan diabaikan.

Ngurip Wewangunan

Prosesnya sejak awal, ngruak karang alih fungsi dari karang tegal menjadi karang wawangunan atau mandala pura. Ukuran pekarangan dengan pengurip asta musti, ukuran halaman dengan pengurip tampak ngandang, ukurang bangunan dengan pengurip nyari, guli, guli madu, useran jari, dan bagian-bagian dari modul dimensi tiang. Tata letak dengan urip pengider, urip perwujudan, pengurip perwujudan, pengurip gegulak, urip dina wawaran dan urip pengurip-urip pemakuh. Makna pengurip wewangunan saat melaspas adalah menghidupkan dengan penjiwaan sebagai bangunan sesuai namanya.

Bahan-bahan bangunan telah dimatikan saat pengadaannya menjadi bahan bangunan. Saat upacara melaspas, jiwanya dikembalikan ke asalnya masing-masing. Dilakukan upacara peleburan dan dihidupkan (ngurip) dengan fungsi baru yang namanya bangunan. Bangunan inilah yang kemudian diproses penjiwaannya sebagai suatu kelahiran ke bumi dengan upakara sebagaimana layaknya suatu kelahiran dan kehidupan. Upacara ngulihin karang adalah suatu upakara semacam dikawinkan antara bangunan dengan pemilik-pemakainya.

Klasik, etnik dan unik memang, namun itulah pengurip penjiwaan sepanjang proses membangun. Bagi pandangan sekuler tentunya sebagai sesuatu yang berlebihan, mitos dan dogma yang dipandang sebagai pemborosan sia-sia.

Benarkah dengan diabaikannya ritus pengurip menyebabkan terjadinya pembangunan tanpa taksu yang semarak dalam fisik namun hampa dalam kejiwaannya? Bagaimana mungkin penjiwaan terjadi dalam pembangunan tanpa peran undagi, tanpa gegulak, yang dibangun dengan sistem tender.

Raibnya bukti pura, ditinggalkannya ayahan pratima dan menipisnya peranan krama, dapat memicu terjadinya kesadaran palsu membangun pura sistem proyek yang ditenderkan.

Sumber: Terimakasih kepada Bali Post

Selasa, 20 November 2018

Panca Sradha

Panca Sradha
Pengertian Panca Sradha
Agama Hindu disebut pula dengan Hindu Dharma, Vaidika Dharma ( Pengetahuan Kebenaran) atau Sanatana Dharma ( Kebenaran Abadi ). Untuk pertama kalinya Agama Hindu berkembang di sekitar Lembah Sungai Sindhu di India. Agama Hindu adalah agama yang diwahyukan oleh Sang Hyang Widhi Wasa, yang diturunkan ke dunia melalui Dewa Brahma sebagai Dewa Pencipta kepada para Maha Resi untuk diteruskan kepada seluruh umat manusia di dunia.
Ada tiga kerangka dasar yang membentuk ajaran agama Hindu,  ketiga kerangka tersebut sering juga disebut tiga aspek agama Hindu. Ketiga kerangka dasar itu antara lain :
  1. Tattwa, yaitu pengetahuan tentang filsafat agama.   
  2. Susila, yaitu pengetahuan tentang sopan santun, tata krama. 
  3. Upacara, yaitu pengetahuan tentang yajna, upacara agama.
Di dalam ajaran Tattwa di diajarkan tentang “ Sradha “ atau kepercayaan. Sradha dalam agama Hindu jumlahnya ada lima yang disebut “ Panca Sradha “. Jadi Panca Sradha adalah Lima kepercayaan yang dimiliki oleh umat Hindu yang di wahyukan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa diturunkan ke dunia melalui Dewa Brahma, kepada para Maha Resi, untuk disebarkan kepada umat Hindu di dunia.
          Bagian- Bagian Panca Sradha

Panca Sradha terdiri dari :
  1. Brahman    :artinya percaya akan adanya Sang Hyang Widhi. 
  2. Atman :artinya percaya akan adanya Sang Hyang Atman. 
  3. Karman     :artinya percaya akan adanya hukum karma phala. 
  4. Samsara    :artinya percaya akan adanya kelahiran kembali. 
  5. Moksa :artinya percaya akan adanya kebahagiaan rohani.
Untuk menciptakan kehidupan yang damai seseorang wajib memiliki sradha (kepercayaan) yang mantap. Seseorang yang sradhanya tidak mantap hidupnya menjadi ragu, canggung, dan tidak tenang dan juga akan terombang ambing.
Cobalah perhatikan kegelisahan dan ketakutan seorang anak di arena sirkus. Anak kecil menjerit ketakutan ketika disuruh bersalaman dengan seekor harimau, walaupun di dampingi oleh seorang Pawang. Tidak lain dan tidak bukan karena anak kecil itu belum mempunyai kepercayaan penuh bahwa harimau itu akan jinak dan telah terlatih oleh pawangnya. Jadi kesimpulannya kepercayaan yang mantap dapat menciptakan ketenangan dan apabial kepercayaan tersebut tidak ada maka semuanya akan terasa menakutkan.

 Brahman (Sang Hyang Widhi Wasa )
Ada beberapa kata yang berkaitan dengan Brahman itu yaitu akar brh-. Ada dua kata yang dieja secara sama, tetapi dengan aksen yang berbeda. Kedua kata itu adalah brhman dan brahmn (nominatif tunggal dari brahma. Brhman, jenis netral, mempunyai arti “ucapan suci.” Brahmn, jenis maskulin, mempunyai arti pertama-tama “dia yang memperoleh kuasa dari ucapan atau sabda suci,” dan yang demikian itu bisa berupa dewa atau pun manusia. Sang brahmn dewani mengkristal dalam sosok tunggal yang mempergunakan nama tersebut. Para Orientalis lebih suka menyebutnya Brahma (dengan menggunakan nominatif tunggal dan bukan akar kata tersebut untuk menghindari kesalahpahaman). Dalam sistem di kemudian hari Brahma akan dikenal sebagai dewa pencipta par excellence. Namun brahmn dapat juga dikenakan untuk manusia – seorang Brahmin atau Brahman – tetap dalam arti ini kata tersebut pelan-pelan diganti oleh kata Brahmana, yakni seorang anggota dari kelas tertinggi, kelas para imam. Kata Brahman juga merupakan nama untuk teks-teks ibadat kurban dalam induk kitab Veda.
Penjelasan filologis atas kata Brahman kiranya relevan di sini. Penjelasan tersebut tidak saja karena hal itu boleh diharapkan untuk menjernihkan pikiran kita, tetapi juga karena hal itu memberikan gambaran tentang cara-cara bagaimana, bukan hanya mungkin, malahan logis, kaum Brahmana dari periode di kemudian hari harus dianggap sebagai dewa-dewa di antara manusia. Pada mulanya mereka hanyalah imam-imam biasa yang diberi kepercayaan untuk membacakan kitab Veda, sabda-sabda suci. Setelah brhman menjadi mapan sebagai dasar yang tidak berubah dan abadi dari semesta alam, arti penting kaum Brahmana secara harafiah mendapatkan keabadian pula. Dari “ucapan suci”, brhman memperoleh arti yang lebih umum “kekuatan suci” sebagaimana adanya: “yang mengenal brhman dalam diri manusia, mengenal tuhan yang mahatinggi”. Brhman dalam manusia dengan demikian sama dengan brhman dalam Tuhan. Yang sangat berarti dalam hal perkembangan gagasan mengenai brhman adalah madah dari Atharva-Veda, 10.2:
Brahman bekerja dalam dunia melalui Trimurti: Brahma, Shiva dan Vishnu. Ketiganya adalah prinsip atau potensi yang berusaha saling memisahkan. Brahma, “Tuhan yang riel”, merupakan Tuhan masa lampau, Tuhan yang hilang dan lupa tanpa gambar-gambar dan kuil-kuil. Śiva mendominasi kesadaran India. Ia adalah prinsip yang merusak, tetapi bukan dalam suatu pengertian yang jahat: Ia membinasakan Brahma, yang adalah kekuatan dari prinsip nyata (real) yang menahan manusia dalam perbudakan. Visnu tampaknya memperbaiki kesatuan yang hilang dan rusak tersebut. Visnu meniadakan Śiva dan fungsi-fungsi sebagai prinsip yang pada dasarnya sektarian dan memecah belah.
    Percaya terhadap Tuhan, mempunyai pengertian yakin dan iman terhadap Tuhan itu sendiri. Yakin dan iman ini merupakan pengakuan atas dasar keyakinan bahwa sesungguhnya Tuhan itu ada, Maha Kuasa, Maha Esa dan Maha segala-galanya. Tuhan Yang Maha Kuasa, yang disebut juga Hyang Widhi (Brahman), adalah ia yang kuasa atas segala yang ada ini. Tidak ada apapun yang luput dari Kuasa-Nya. Ia sebagai pencipta, sebagai pemelihara dan Pelebur alam semesta dengan segala isinya. Tuhan adalah sumber dan awal serta akhir dan pertengahan dari segala yang ada. Didalam Weda (Bhagavad Gita), Tuhan (Hyang Widhi) bersabda mengenai hal ini, sebagai berikut:
    Tuhan (Hyang Widhi), yang bersifat Maha Ada, juga berada disetiap mahluk hidup, didalam maupun doluar dunia (imanen dan transenden). Tuhan (Hyang Widhi) meresap disegala tempat dan ada dimana-mana (Wyapi Wyapaka), serta tidak berubah dan kekal abadi (Nirwikara). Di dalam Upanisad (k.U. 1,2) disebutkan bahwa Hyang Widhi adalah “telinga dari semua telinga, pikiran dari segala pikiran, ucapan dari segala ucapan, nafas dari segala nafas dan mata dari segala mata”, namun Hyang Widhi itu bersifat gaib (maha suksma) dan abstrak tetapi ada.
    Walaupun amat gaib, tetapi Tuhan hadir dimana-mana. Beliau bersifat wyapi-wyapaka, meresapi segalanya. Tiada suatu tempatpun yang Beliau tiada tempati. Beliau ada disini dan berada disana Tuhan memenuhi jagat raya ini.
     Kendatipun Tuhan itu selalu hadir dan meresap di segala tempat,tetapi sukar dapat dilihat oleh mata biasa. Indra kita hanya dapat menangkap apa yang dilihat, didengar, dikecap dan dirasakan. Kemampuannya terbatas, sedangkan Tuhan (Hyang Widhi) adalah Maha Sempurna dan tak terbatas.
     Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa, yang tak terjangkau oleh pikiran, yang gaib dipanggil dengan nama sesuai dengan jangkauan pikiran, namun ia hanya satu, Tunggal adanya.
    Karena Tuhan tidak terjangkau oleh pikiran, maka orang membayangkan bermacam-macam sesuai dengan kemampuannya. Tuhan yang Tunggal (Esa) itu dipanggilnya dengan banyak nama sesuai dengan fungsinya. Ia dipanggil Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Ciwa sebagai pelebur/pemralina. Banyak lagi panggilannya yang lain. Ia maha tahu, berada dimana-mana. Karena itu tak ada apapun yang dapat kita sembunyikan dihadapan-Nya. Orang-orang menyembah-Nya dengan bermacam-macam cara pada tempat yang berbeda-beda. Kepada-Nyalah orang menyerahkan diri, mohon perlindungan dan petunjuk-Nya agar ia menemukan jalan terang dalam mengarungi hidup ini.
     Brahman ( Percaya akan adanya Hyang Widhi ), Hyang Widhi adalah yang menakdirkan, maha kuasa, maha kekal, tanpa awal dan akhir dan pencipta semua yang ada yang disebut “ Wyapi Wyapaka Nirwikara “. Kita percaya bahwa beliau ada, meresap di semua tempat dan mengatasi semuanya yang disebut Wyapaka. 
     Di dalam kitab Brahman Sutra dinyatakan “ Jan Ma Dhyasya Yatah “ artinya Hyang Widhi adalah asal mula dari semua yang ada di alam semesta ini. Dari pengertian tersebut bahwa Hyang Widhi adalah asal dari segala yang ada. Kata ini diartikan semua ciptaan, yaitu alam semesta beserta isinya termasuk Dewa – dewa dan lain – lainnya berasal dan ada di dalam Hyang Widhi. Tidak ada sesuatu di luar diri beliau. Penciptaan pemeliharaan dan peleburan adalah kekuasaan beliau. 
     Agama Hindu mengajarkan bahwa Sang Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha  Esa tidak ada duanya. Hal ini dinyatakan dalam beberapa kitab Weda antara lain :
1.      Dalam Chandogya Upanishad dinyatakan :
Om tat Sat Ekam Ewa Adwityam  Brahman
artinya Hyang Widhi hanya satu tak ada duanya dan maha sempurna. 
2.      Dalam mantram Tri Sandhya tersebut kata – kata :
Eko Narayanad na Dwityo Sti Kscit
artinya hanya satu Hyang Widhi dipanggil Narayana, sama sekali tidak ada duanya. 
3.      Dalam Kitab Suci Reg Weda disebutkan “ 
Om Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti
artinya Hyang Widhi itu hanya satu, tetapi para arif bijaksana menyebut dengan berbagai nama. 
4.      Dalam kekawin Sutasoma dinyatakan :
Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa
artinya berbeda – beda tetapi satu, tak ada Hyang Widhi yang ke dua.
Dengan pernyataan – pernyataan di atas sangat jelas, umat Hindu bukan menganut Politheisme, melainkan umat Hindu menganut Monotheisme yaitu mengakui dan percaya dengan adanya satu Hyang Widhi atau Tuhan Yang maha Esa.
Hindu sangat lengkap, dan fleksibel. Tuhan dalam Hindu di insafi dalam 3 aspek utama, yaitu Brahman ( Yang tidak terpikirkan ), Paramaatma ( Berada dimana-mana dan meresapi segalanya ), dan Bhagavan ( berwujud ).

Atman (Sang Hyang Atma)
Atman ( Percaya akan adanya Sang Hyang Atma ). Di dalam weda Parikrama disebutkan : “Eko Devah sarva bhutesu, gudhah sarva vyapim sarva bhutaratma Karma, dhyaksah sarva bhutadiwasah. Saksi ceto. Kevalonirgnasca”  yang artinya Satu zat yang bersembunyi dalam setiap makhluk yang mengisi semuanya yang merupakan jiwa bathin semua makhluk raja dari semua perbuatan yang tinggal dalam semua makhluk saksi yang hanya terdapat dalam pikiran saya.
Jadi atma adalah percikan kecil dari Paramaatma (tuhan) yang berada disetiap makhluk hidup. Atma berasal dari Hyang Widhi yang memberikan hidup kepada semua makhluk. Atma atau Sang Hyang Atma disebut pula Sang Hyang Urip yang berarti Sang Hyang yang memberikan nyawa. Manusia, hewan dan tumbuhan adalah mahluk hidup yang terjadi dari dua unsur yaitu badan dan atma. Badan adalah kebendaan yang terbentuk dari lima unsur kasar yaitu Panca Maha Butha. Di dalam badan melekat indria yang jumlahnya sepuluh ( Dasa Indria ).
Mengenai keberadaan atma itu, dijelaskan dalam kitab suci sebagai berikut :
1.      Sariram brahma pravisat sarire-adhi prajapatih.
(atharwa weda XI. 8.30 )
Sang hyang Widhi Wasa memasuki tubuh manusia dan dia menjadi raja tubuh itu.
2.      Iyam kalyani ajara martyasyaamerta grahe
(atharwa weda X. 8. 26)
Dewa yang kekal dan bertuah itu bertempat tinggal didalam tubuh manusia yang fana.
3.      Na jayate mriyate va kadachin ,shavitava na yambhutva va na bhuyah,ajo nityah sasvato yam purano,na hayate hanyamane  sarire
(bhagawadgita II.20.23)
Ia tidak pernah lahir pun juga tidak pernaah mati kapanpun, pun juga tidak pernah muncul dan lagi tidak pernah menghilang. Ia adalah tidak mengenal kelahiran, kekal, abadi dan selalu ada. Ia tidak dapat di bunuh bila badan di bunuh.
4.      Aham atma gudakesa,sarvabhutasyasthitah aham adis cha madhyam cha, butanam anta eva cha.
(bhagawadgita X. 20 )
Oh arjuna, aku adalah atman yang menetap dalam hati semua mahluk, aku adalah permulaan, pertengahan, dan akhir dari semua mahluk.
Atma adalah yang menghidupkan mahluk itu sendiri, sering juga disebut badan halus . Atma yang menghidupkan badan manusia disebut “ Jiwatman “ atau “ Swatman “ . Badan dengan atma ini bagaikan hubungan Kusir dengan Kereta. Kusir adalah atma, dan kereta adalah badan. Indria yang ada pada badan kita tidak akan ada fungsinya apabila tidak ada atma. Misalnya, mata tidak dapat digunakan untuk pengelihatan jika tidak dijiwai oleh atma. Telinga tidak dapat digunakan untuk pendengaran jika tidak dijiwai oleh atma. Oleh karena itu Atma merupakan bagian dari tuhan yang sifatnya sangat gaib (Parama Sukma), tidak pernah mengalami kelahiran dan kematian (Najayate naha niyamane)
Atma yang berasal dari Hyang Widhi mempunyai sifat “ Antarjyotih “ ( bersinar tidak ada yang menyinari, tanpa awal dan tanpa akhir, dan sempurna ). 
Dalam kitab Bhagawandgita disebut sifat – sifat atma sebagai berikut :
- Achodyhya    artinya tak terlukai oleh senjata
- Adahya       artinya tak terbakar oleh api
- Akledya      artinya tak terkeringkan oleh angin
- Acesyah      artinya tak terbasah oleh air
- Nitya        artinya abadi, kekal
- Sarwagatah   artinya ada dimana – mana
- Sthanu       artinya tak berpindah – pindah
- Acala        artinya tak bergerak
- Sanatana     artinya selalu sama
- Adyakta      artinya tak terlahirkan
- Achintya     artinya tak terpikirkan
- Awikara      artinya tak berjenis kelamin
Sehubungan dengan hal itu perhatikan sloka-sloka berikut mengenai atman yaitu
Bhagavad-Gita II sloka 23, 24, dan 25 menyebutkan:
Bhagavad-Gita II sloka 23
nai'nam chhindanti sastrani
nainam dahati paskah
na chai'nam kledayanty apo
na soshayati marutah
 Artinya:
Senjata tidak dapat melukai Dia
dan api tidak bisa membakar- Nya
angin tidak dapat mengeringkan Dia
dan air tidak bisa membasahi- Nya

Bhagavad-Gita II sloka 24
Achedyo 'yam adahyo 'yam
akledya 'soshya eva cha
nityah sarwa
-gatah sthanur
achalo 'yam sanatanah

Artinya:
Dia tidak dapat dilukai, dibakar
juga tidak dikeringkan dan dibasahi
Dia adalah abadi, tiada berubah
tiada bergerak, tetap selama- lamanya.

Bhagavad-Gita II sloka 25 
Avyakto 'yam achintyo 'yam
Avikaryo 'yam uchyate
tasmad evam vidit
vainam
na 'nusochitum arhasi. 

Artinya:
Dia dikatakan tidak termanifestasikan
tidak dapat dipikirkan, tidak berubah- ubah
dan mengetahui halnya demikian
engkau hendaknya jangan berduka


  Jelaslah atma itu sifatnya sempurna. Tetapi pertemuan antara atma dengan badan yang kemudian menimbulkan ciptaan menyebabkan atma dalam keadaan “ Awidhya “. Awidhya artinya gelap lupa kepada kesadaran . Awidhya muncul karena pengaruh unsur Panca Maha Butha yang mempunyai sifat duniawi. Sehingga dalam hidup ini atma dalam diri manusia di dalam keadaan awidhya.
Dalam keadaan seperti ini kita hidup kedunia bertujuan untuk menghilangkan awidhya untuk meraih kesadaran yang sejati dengan cara melaksanakan Subha Karma  yang artinya perbuatan baik. Menyadari sifat atma yang serba sempurna dan penuh kesucian menimbulkan usaha untuk menghilangkan pengaruh awidhya tadi. Karena apabila manusia meninggal kelak hanya badan yang rusak, sedangkan atmanya tetap ada kembali akan mengalami kelahiran berulang dengan membawa “ Karma Wasana “ yang artinya bekas hasil perbuatan . Oleh karena itu, manusia lahir kedunia harus berbuat baik atas dasar pengabdian untuk membebaskan Sang Hyang Atma dari ikatan duniawi. Sesungguhnya jika tidak ada pengaruh duniawi Hyang Widhi dan Atma itu adalah tunggal adanya ( Brahman Atman Aikyam ).
     Karman (Hukum Karma Phala)
Kata Karma berasal dari bahasa Sanskerta yaitu dari akar kata Kr, yang artinya berbuat atu bekerja. Perbuatan tersebut ada yang baik dan ada yang buruk. Perbuatan baik disebut Subha Karma dan yang buruk Asubha Karma. Dan semuanya itu disebut Karma. Sumber karma ada 3 yaitu Manah atau pikiran, Wacika atau perkataan, Kayika atau perbuataan. Dalam kitab Slokantara dijelaskan “Karma Phala Ngaran Ika Phalaning Gawe Hala Hayu” artinya karma phala itu adalah akibat(phala) dari baik dan buruk suatu perbuatan. Adapun sifat-sifat dari hukum karma phala yaitu:
a. Bersifat pasti dan tak terbatalkan
b. Bersifat adil sesuai dengan karma
c. Bersifat universal
Adapun manfaat sebagai adalah sebagai berikut :
1.      memotifasi seseorang untuk selalu berbuat baik
2.      memotifasi seseorang untuk selalu bersikap positif dan dinamis serta tidak mudahPutus asa
3.      memotivasi seseorang untuk selalu bekerja tanpa pamrih
Karma ialah segala perbuatan dan kegiatan yang kita lakukan tanpa kecuali, baik yang secara sadar maupun yang kita laksanakan secara tidak sadar. Bentuk-bentuk karma sesuai dengan sumbernya ada tiga macam yaitu:
1.   Karma dalam bentuk pikiran
2.   Karma dalam bentuk ucapan
3.   Karma dalam bentuk perbuatan atau tingkah laku
Jika begitu, dapat diungkapkan bahwa yang dimaksud dengan Karma ialah segala kegiatan dalam bentuk pikiran, ucapan dan perbuatan baik yang disadari maupun yang tidak disadari.
    Seperti halnya petani yang menanam jagung atau singkong, pasti dia akan memetik jagung atau sin
gkong, karena kelak jagung itu pasti akan berbuah, dan kelak singkong itu pasti akan berumbi dan si petanipun akan mendapatkan hasil dari apa yang ia tanam.
   Begitu juga halnya dengan karma perbuatan yang dilakukan oleh manusia pasti akan menimbulkan hasil buah atau akibat. Hasil dari perbuatan itulah yang disebut Karma Phala. Kata  phala berarti buah atau hasil, dan yang akan menerima Karma Phala atau buah karma itu adalah orang yang berbuat atau yang memiliki karma itu, sebab ia sendiri yang melakukan karma itu. Jika ia berbuat karma yang baik, maka ia akan memperoleh hasil yang baik pula, dan sebaliknya jika ia melakukan karma yang buruk maka hasilnya akan buruk pula. Keadaan atau kejadian seperti itulah yang disebut Hukum Karma.
   Hukum Karma adalah Hukum alam yang menjelaskan bahwa segala perbuatan akan menimbulkan hasil, perbuatan baik akan menimbulkan kebaikan dan perbuatan jahat akan menimbulkan kejahatan (penderitaan). Hal itu sesuai dengan hukum sebab akibat yang menyatakan bahwa setiap sebab akan menimbulkan akibat. Maksudnya segala sebab yang berupa perbuatan akan membawa akibat  sebagai hasil perbuatan itu, karena kata perbuatan sama dengan “karma” maka dapat kita katakan sebagai berikut: segala karma atau (perbuatan) akan mengakibatkan Karma Phala (hasil/buah perbuatan).
Pengaruh hukum ini pulalah yang menentukan corak serta nilai dari pada watak manusia. Hal ini menimbulkan adanya bermacam-macam ragam watak manusia di dunia ini. Terlebih-lebih hukuman kepada roh yang selalu melakukan dosa semasa penelmaannya, maka derajatnya akan semakin bertambah merosot.
Hal ini disebutkan dalam Weda sebagai berikut:
Dewanam narakam janturjantunam narakam pacuh,
Pucunam narakam nrgo mrganam narakam khagah,
Paksinam narakam vyalo vyanam narakam damstri,
Damstrinam narakam visi visinam naramarane
(Clokantara.40.13-14)

Dewa neraka (menjelma) menjadi manusia. Manusia neraka (menjelma) menjadi ternak. Ternak menjadi binatang buas, binatang buas neraka menjadi burung, burung neraka menjadi ular, dan ular neraka menjadi taring. (serta taring) yang jahat menjadi bisa (yakni) bisa yang dapat membahayakan manusia.
Setiap perbuatan yang kita lakukan di dunia ini baik atau buruk akan memberikan hasil. Tidak ada perbuatan sekecil apapun yang luput dari hasil atau pahala, langsung maupun tidak langsung pahala itu pasti akan datang. Kita percaya bahwa perbuatan yang baik atau Subha Karma membawa hasil yang menyenangkan atau baik. Sebaliknya perbuatan yang buruk atau Asubha Karma akan membawa hasil yang duka atau tidak baik.

Perbuatan – perbuatan buruk atau Asubha Karma menyebabkan Atma jatuh ke Neraka, dimana ia mengalami segala macam siksaan. Bila hasil perbuatan jahat itu sudah habis terderita, maka ia akan menjelma kembali ke dunia sebagai binatang atau manusia sengsara ( Neraka Syuta ). Namun, bila perbuatan – perbuatan yang dilakukan baik maka berbagai kebahagiaan hidup akan dinikmati di sorga. Dan bila hasil dari perbuatan – perbuatan baik itu sudah habis dinikmati, kelak menjelma kembali ke dunia sebagai orang yang bahagia dengan mudah ia mendapatkan pengetahuan yang utama (Surga Syuta).
Dalam lontar Atmaprangsangsa Agama dinyatakan bermacam-macam tempat yang disediakan oleh Sang Hyang Yamadipati untuk menghukum -attnd yang mendapat neraka,yaitu sebagai berikut :
1.   Kawah Tamra Gohmukha (Kawah Weci)
Atma yang pada kehidupannya selalu berbuat jahat (jenek ring pangan kinum), sampaimerugikan orang lain maka atma itu akan dibuang ke dalam kawah Tamra Gohmukha.
2.   Batu Macepak
Atma yang penuh dengan dosa-dosa akibat perbuatan mulutnya yang tidak baik makadia dihukum di batu ini.
3.   Tihing Petung dengan di bawahnya jurang
Tempat hukuman bagi atma yang penuh dosa karena melaksanakan black magic (ilmuhitam)
4.   Titi Ugal-Agil
Tempat hukuman bagi atma yang pada waktu hidupnya suka memfitnah (ngerajapisurta) dan mengada-ada (berbohong).
5.   Kayu Curiga
Tempat menghukum atma yang penuh dosa karena bermain cinta dengan bukan istrinyasendiri.
6.   Tegal penangsaran
Disediakan bagi atma yang penuh dosa karena perbuatannya selalu membuat orang lainsengsara/ panas hati
Jika dilihat dari sudut waktu, Karma phala dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
a. Sancita Karma Phala
Sancita Karma Phala adalah hasil dari perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang menentukan kehidupan kita sekarang. Bila karma kita pada kehidupan yang terdahulu baik, maka kehidupan kita sekarang akan baik pula ( senang, sejahtera, bahagia ). Sebaliknya bila perbuatan kita terdahulu buruk maka kehidupan kita yang sekarang inipun akan buruk ( selalu menderita, susah, dan sengsara ). Atau sering disebut Karma Phala Dahulu-Sekarang.

b. Prarabda Karma Phala
Prarabda Karma Phala adalah hasil dari perbuatan kita pada kehidupan sekarang ini tanpa ada sisanya, sewaktu masih hidup telah dapat memetik hasilnya, atas karma yang dibuat sekarang. Sekarang menanam kebijaksanaan dan kebajikan pada orang lain dan seketika itu atau beberapa waktu kemudian dalam hidupnya akan menerima pahala, berupa kebahagiaan. Sebaliknya sekarang berbuat dosa, maka dalam hidup ini dirasakan dan diterima hasilnya berupa penderitaan akibat dari dosa itu. Prarabda karma phala dapat diartikan sebagai karma phala cepat. Atau serng disubut Karma Phala Sekarang-sekarang.
c. Kriyamana Karma Phala
Kriyamana Karma Phala adalah pahala dari perbuatan yang tidak dapat dinikmati langsung pada kehidupan saat berbuat. Tetapi, akibat dari perbuatan pada kehidupan sekarang akan dan di terima pada kehidupan yang akan datang, setelah orangnya mengalami proses kematian serta pahalanya pada kelahiran berikutnya. Apabila karma pada kehidupan yang sekarang baik maka pahala pada kehidupan berikutnya adalah hidup bahagia, dan apabila karma pada kehidupan sekarang buruk maka pahala yang kelak dikehidupan mendatang diterima berupa kesengsaraan. Atau sering disebut dengan Karma Phala Sekarang – akan datang.

Tegasnya cepat atau lambat, dalam kehidupan sekarang atau nanti, segala pahala dari perbuatan itu pasti diterima karena sudah merupakan hukum. Kita tidak dapat menghindari hasil perbuatan kita itu baik atau buruk. Maka kita selaku manusia yang dilengkapi dengan bekal kemampuan berpikir, patutlah sadar bahwa penderitaan dapat diatasi dengan memilih perbuatan baik. Manusia dapat berbuat atau menolong dirinya dari keadaan sengsara dengan jalan berbuat baik, demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia.

    Punarbawa (Samsara)
Kata Punarbhawa berasal dari bahasa sanskerta, terdiri dari dua kata yaitu: kata punar yang berarti lagi, kembali dan bhava yang berati menjelma. Jadi, Punarbhawa berarti kelahiran yang berulang-ulang yang disebut juga dengan Penitisan atau Samsara. Di dalam pustaka suci weda dikatakan bahwa penjelmaan atma (roh) yang berulang ulang (samsriti) ke dunia ini disebut samsara. Punarbhawa atau samsara ini terjadi diakibatkan oleh adanya Hukum Karma, dimana karma yang jelek menyebabkan atma (roh) menjelma kembali untuk memperbaiki perbuatannya yang tidak baik, atau karena atma itu masih dipengaruhi oleh Karma Wesana (bekas-bekas atau sisa-sisa perbuatan)atau kenikmatan duniawi sehingga tertarik untuk lahir ke dunia kembali. Kelahiran ini adalah Samsara (sengsara) sebagai hukuman yang diakibatkan oleh perbuatan atau karma dikelahiran yang terdahulu. . Jangka pembebasan diri dari samsara, tergantung pada perbuatan baik kita yang lampau ( atita ) yang akan datang ( nagata ) dan sekarang ( wartamana ).
Punarbhawa berarti kelahiran yang berulang-ulang, yang disebut juga penitisan kembali (reinkarnasi) atau Samsara.  Di dalam Weda disebutkan bahwa "Penjelmaan jiwatman yang berulang-ulang di dunia ini atau didunia yang lebih tinggi disebut Samsara. Kelahiran yang berulang-ulang ini membawa akibat suka dan duka. Samsara atau Punarbhawa ini terjadi oleh karena Jiwatman masih dipengaruhi oleh kenikmatan, dan kematian akan diikuti oleh kelahiran".
Demikian pula disebutkan:
Sribhagavan uvacha,
bahuni Ma vyatitani,
janmani Ava Chad rjuna,
ani Ham Venda sarvani,
na tvam paramtapa (Bh. G. IV.5)
Artinya :
Sri Bhagawan (tuhan) bersabda, banyak kelahiran-Ku di masa lalu, demikian pula kelahiranmu arjuna semuanya ini Aku tahu, tetapi engkau sendiri tidak,. Parantapa.

Atman yang masih diselubungi oleh suksma sarira dan masih terikat oleh adanya kenikmatan duniawi, menyebabkan Atman itu awidya, sehingga Ia belum bisa kembali bersatu dengan sumbernya yaitu Brahman (Hyang Widhi). Hal ini menyebabkan atman itu selalu mengalami kelahiran secara berulang-ulang.
Segala bentuk prilaku atau perbuatan yang dilakukan pada masa kehidupan yang lampau menyebabkan adanya bekas (wasana) dalam jiwatman. Dan wasana (bekas-bekas perbuatan) ini ada bermacam-macam. Jika wasana itu hanya bekas-bekas keduniawian, maka jiwatman akan lebih cenderung dan gampang ditarik oleh hal-hal keduniawian sehingga atman itu lahir kembali.
Karmabhumiriya brahman,
phlabhumirasau mata
iha yat kurate karma tat,
paratrobhujyate. (S.S.7)
Sebab sebagai manusia sekarang ini adalah akibat baik dan buruknya karma itu juga akhirnya dinikmatilah karma phala itu. Artinya baik buruk perbuatan itu sekarang akhirnya terbukti hasilnya. Selesai menikmatinya, menjelmalah kembali ia, mengikuti sifat karma phala. Wasana berarti sangskara, sisa-sisa yang ada dari bau sesuatu yang tinggal bekas-bekasnya saja yang diikuti hukuman yaitu jatuh dari tingkatan sorga maupun dari kawah-kawah neraka, adapun perbuatan baik ataupun buruk yang dilakukan di akhirat, tidaklah ia berakibat sesuatu apapun, oleh karena yang sangat menentukan adalah perbuatan-perbuatan baik atau buruk yang dilakukan sekarang juga.
Karma dan Punarbhawa ini merupakan suatu proses yang terjalin erat satu sama lain. Secara singkat dapat dikatakan bahwa karma adalah perbuatan yang meliputi segala gerak, baik pikiran, perkataan maupun tingkah laku. Sedangkan punarbhawa adalah kesimpulan dari semua karma itu yang terwujud dalam penjelmaan tersebut. Setiap karma yang dilakukan atas dorongan acubha karma akan menimbulkan dosa dan Atman akan mengalami neraka serta dalam Punarbhawa yang akan datang akan mengalami penjelmaan dalam tingkat yang lebih rendah, sengsara, atau menderita dan bahkan dapat menjadi mahluk yang lebih rendah tingkatannya. Sebaliknya, setiap karma yang dilakukan berdasarkan cubhakarma akan mengakibatkan Atman (roh) menuju sorga dan jika menjelma kembali akan mengalami tingkat penjelmaan yang lebih sempurna atau lebih tinggi.
Di dalam Weda (S.S.48) dinyatakan sebagai berikut:
"Adharmarucayo mandas,
tiryaggatiparayanah,
krocchram yonimanuprapya,
na windanti sukham janah.

Adapun perbuatan orang yang bodoh, senantiasa tetap berlaku menyalahi dharma; setelah ia lepas dari neraka, menitislah ia menjadi binatang, seperti biri-biri, kerbau dan lain sebagainya; bila kelahirannya kemudian meningkat, ia menitis menjadi orang yang hina, sengsara, diombang-ambingkan kesedihan dan kemurungan hati, dan tidak mengalami kesenangan.
Sedangkan orang yang selalu berbuat baik (cubhakarma), Sarasmuccaya menyebutkan: "Adapun orang yang selalu melakukan karma baik (cubhakarma), ia dikemudian hari akan menjelma dari sorga, menjadi orang yang tampan (cantik), berguna, berkedudukan tinggi, kaya raya dan berderajat mulia. Itulah hasil yang didapatnya sebagai hasil (phala) dari perbuatan yang baik".
Kesimpulannya, dengan keyakinan dengan adanya Punarbhawa ini maka orang harus sadar, bahwa bagaimana kelahirannya tergantung dari karma wasananya. Kalau ia membawa karma yang baik, lahirlah ia menjadi orang berbahagia, berbadan sehat dan berhasil cita-citanya. Sebaliknya bila orang membawa karma yang buruk, ia akan lahir menjadi orang yang menderita. Oleh karena itu kelahiran kembali ini adalah kesempatan untuk memperbaiki diri untuk meningkat ke taraf yang lebih tinggi.
Iyam hi yonihprathama,
yam prapya jagattpate
atmanam cakyate tratum,
karmabhih  cubhalaksanaih (S.S. 4)


Menjelma menjadi manusia itu sungguh-sungguh utama; sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya sendiri dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik; demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia.
Sopanabhutam Swargasya,
manusyam prapya durlabham,
tathamanam samadyad,
dhwamsetana purna yatha. (S.S. 6)
Kesimpulannya, pergunakanlah dengan sebaik-baiknya kesempatan menjelma menjadi manusia ini, kesempatan yang sungguh sulit diperoleh, yang merupakan tangga untuk pergi ke sorga; segala sesuatu yang menyebabkan agar tidak jatuh lagi, itulah hendaknya dilakukan.
Diantara semua mahluk hidup yang ada didunia ini, manusia adalah mahluk yang utama. Ia dapat berbuat baik maupun buruk, serta dapat melebur perbuatannya yang buruk dengan perbuatan yang baik. Oleh karena itu seseorang sepatutnya bersyukur dan berbesar hati lahir sebagai manusia. Karena sungguh tidaklah mudah untuk dapat dilahirkan menjadi manusia sekalipun manusia hina.
Penyebab Terjadinya Punarbhava. Punarbhava itu sesungguhnya adalah penderitan yang akan dirasakan oleh setiap mahluk di dunia ini, tetapi di sisi lain punarbhava itu juga merupakan sebagai kesempatan untuk melakukan karma yang baik, adanya punarbhava menurut ajaran agama Hindu disebabkan adanya karmawasana. Karmawasana muncul dari perbuatan manusia, yang di pergunakan sebagai pedoman benar atau salah itu dalam ajaran agama Hindu adalah sabda Tuhan dalam kitab suci. Karma pada masa lampau akan membuat wasana atau bekas pada atman, sehingga dengan demikian muculah punarbhava. Lamanya Punarbhava itu di tentukan banyak sedikitnya wasana yang ada pada atman, bila dilihat dari segi filosofis karma dan Punarbhava itu kedua-duanya adalah suatu proses yang terjalin erat satu dengan yang lain.
Setiap karma yang dilakukan oleh seseorang di dorong oleh pikiran, indria dan nafsu yang tidak sesuai dengan garis kebenaran yang diajarkan oleh agama. Akibat yang ditimbulkan adalah dosa yang harus ditanggung oleh atman maka itu atman lahir kembali (punarbhava) yang semua disebabkan oleh karma itu sendiri. Dalam kehidupan di dunia ini sesungguhnys yang sangat banyak perbuatan yang di liputi oleh sad ripu, sad atatayi, dan sapta timira, akan membawa seseorang dalam penderitan, untuk dapat menghilangkan penyebab Punarbhava itu hendaklah seseorang dapat melenyapkan penyebab penderitan itu sendiri dengan jalan selalu berusaha mawas diri kearah yang benar.
Adapun tangga yang patut ditempuh untuk dapat membebaskan diri dari hukum punarbhava itu adalah kesusilan, dana punya, budi luhur, pengabdian yang suci dan kebajikan itu sendiri. Memang kita sulit membebas diri dari hukum punarbhava kecuali kita bisa melakukan hal-hal yang berdasarkan ajaran agama seperti yang dilakukan orang-orang suci seperti maharsi, itu pun hanya sebagian orang-orang suci yang bisa melakukan, karena masih banyak terikat oleh keduniawian.  Dalam kehidupan sehari-hari maupun lingkungan bermasyarakat dapat kita lihat dan kita rasakan, penyebab terjadinya punarbhawa atau kelahiran kembali seperti: Adanya perbedaan kondisi kehidupan manusia di dunia seperti kaya-miskin, bahagia-sengsara, tanpan-cacat, dan sebagainya,walaupun Tuhan / Brahman diyakini bahwa maha adil, pengasih dan penyayang.
Sebab terjadinya Punarbhawa seperti, ingin memperbaiki diri menuju kesempurnaan agar roh dapat mencapai Moksa. Mengenai kebenaran adanya punarbhawa, kitab suci memberikan kesaksian sebagai berikut :
Bahūni me vyatītāni
janmāni tava cārjuna
veda sarvāni
Tāny aham
vettha parantapa.
na tvam
(Bh. Gita : IV.5)

Artinya :
Banyak engkau,
O Arjuna, semua itu Aku ketahui, tetapi engkau tidak dapat mengetahuinya kelahirian (kehidupan yang telah kujalani dan demikian pula.

2.3 Proses Terjadinya Punarbhava
Terjadinya punarbhava diakibatkan manusia di dunia ini masih melakukan hal-hal yang tidak baik, selalu mencapai atau mencari yang diinginkan melalui cara yang tidak baik, seperti KKN, mencuri milik orang lain, dll. Dikarenakan manusia di dunia ini masih diliputi oleh sad ripu, sad atatayi, sarta timira, makanya punarbhava itu selalu ada dalam diri manusia, akibat perbuatan yang dilakukannya tidak sesuai dengan ajaran agama. Selain itu juga selama isi bumi masih ada maka proses terjadinya punarbhawa akan tetap ada. Jadi proses terjadinya Punarbhawa, Setelah roh selesai menikmati hasil perbuatan di alam Roh atau Bwah Loka, melahirkan kembali roh tersebut. Kelahiran tersebut seseui dengan hasil perbuatannya. Jikalau roh disertai dengan hasil perbuatan baik, maka akan lahir Sorga yang disebut Swarga Syuta dan menjadi mahluk utama.
 Kelahiran atma yang berulang ulang ke dunia ini membawa akibat suka duka. Didalam kitab suci bhagawangita Bab IV. 5 Sri Krsna bersabda:  
Sribhagavan uvaca Bahuni me vyatitani janmani tava carjuna aham veda sarvani na twam vettha parantapa
Artinya                                                         Sri Bhagawan berkata : 
Banyak kelahiran-Ku di masa lalu demikian dan pula kelahiranmu,
Arjuna;ini aku tahu tetapi engkau sendiri tidak, parantapa.  
Setiap karma yang dilakukan atas dorongan indria dan kenafsuan adalah Asubha Karma karena akibatnya akan menimbulkan dosa, dan atma akan mengalami Neraka serta selanjutnya akan mengalami punarbhawa dalam tingkat yang lebih rendah. Demikian pula sebaliknya bahwa karma yang dilakukan atas dasar Buddhi Sattvam adalah Buddhi Dharma (Subha Karma) yang menyebabkan atma akan mendapat surga dan jika menjelma kembali akan mengalami tingkat penjelmaan yang sempurna dan lebih tinggi. Atma yang menjelma dari surga akan menjelma menjadi manusia yang hidup bahagia didunia dan kebahagiaan ini akan dirasakan dalam penjelmaan yang akan datang yang disebut Surga syuta.Sedangkan atma yang menjelma dari Neraka akan menjadi makhluk yang nista, mengalami banyak penderitaan dalam hidup di dunia. Penjelmaan dalam penderitaan ini disebut kelahiran Neraka Syuta. Jadi dengan demikian tingkat dan keadaan penjelmaan itu berbeda-beda tergantung dari jenis Subha dan Asubha Karma yang diperbuatnya.
 Pembebasan dari samsara berarti mencapai penyempurnaan atma dan mencapai moksa yang dapat dicapai di dunia ini juga. Selanjutnya keyakinan adanya Punarbhawa ini akan menimbulkan tindakan sebagai berikut :
- Pitra Yadnya Yaitu memberikan korban suci terhadap leluhur kita, karena kita percaya leluhur itu masih hidup di dunia ini yang lebih halus.
- Pelaksanaan dana Punya ( amal saleh ), karena perbuatan ini membawa kebahagiaan setelah meninggal.
- Berusaha menghindari semua perbuatan buruk karena jika tidak, akan membawa ke alam neraka atau menglami kehidupan yang lebih buruk lagi.
Pengalaman Hidup yang merupakan bukti dari adanya Punarbhawa tersebut, bisa dilihat pada Lampiran halaman terakhir.
3.7     Moksa
Dalam keyakinan umat hindu yang menjadi tujuan hidup manusia di alam ini adalah Moksa. Dalam kitab suci weda , dinyatakan “Moksartham jagadhita ya ca iti dharma” yang artinya, bahwa tujuan agama (Dharma) itu adalah untuk mencapai Moksa (Mokshartham) dan kesejahteraan umat manusia (Jagadhita).  
Kata moksa berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari kata Muc yang berarti membebaskan atau melepaskan. Dengan demikian, kata Moksa berarti kelepasanan kebebasan. Dari segi istilah, moksa disamakan dengan nirwana dan nisreyasa atau kaparamarthan.  
a. Mencapai Moksa.
Untuk mencapai moksa seseorang harus mempunyai persyaratan2 tertentu sehingga proses mencapai moksa dapat berjalan sesuai dengan norma2 ajaran agama Hindu. Dalam mencapai Moksa dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
1. Dharma.
Dalam ajaran agama Hindu yang terdapat dalam Catur Parusanta dijelaskan bahwa tujuan dari kehidupan adalah bagaimana untuk menegakkan Dharma, setiap tindakan harus berdasarkan kebenaran tidak ada dharma yang lebih tinggi dari kebenaran. Dalam Bagawad Gita disebutkan bahwa Dharma dan Kebenaran adalah nafas kehidupan. Krisna dalam wejangannya kepada Arjuna mengatakan bahwa dimana ada Dharma, disana ada Kebajikan dan Kesucian, dimana Kewajiban dan Kebenaran dipatuhi disana ada kemenangan. Orang yang melindungi dharma akan dilindungi oleh dharma maka selalu tempuhlah kehidupan yang suci dan terhormat.
Dalam zaman edan saat ini semua orang mengabaikan kebenaran, orang sudah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, krisis moral sudah meraja lela dimana mana, kebenaran dan keadilan sudah langka, orang sudah tidak mengenal budaya malu, semua perbuatannya dianggap sudah benar dan normal. Sebenarnya Dharma tidak pernah berubah, Dharma telah ada pada zaman dahulu, zaman sekarang dan zaman yang akan datang, ada sepanjang zaman tetapi setiap zaman mempunyai karateristik lain2 dalam melakukan latihan kerohanian (spiritual). Untuk Kerta Yuga latihan kerohanian yang baik adalah melakukan Meditasi, untuk Treta Yuga latihan kerochanian yang baik adalah dengan melakukan Yadnya atau kurban, untuk Dwapara latihan kerochanian yang baik adalah dengan melakukan Yoga yaitu upacara pemujaan dan untuk Kali Yuga latihan kerochanian yang baik adalah dengan melakukan Nama Smarana yaitu mengulang ngulang atau menyebut nama Tuhan yang suci.
2. Pendekatan kepada Yang Widhi Wasa
Untuk mendekatkan diri kehadapan Yang Widhi Wasa ada beberapa cara yang dilakukan Umat Hindu yaitu cara Darana (menetapkan cipta), Dhyana (memusatkan cipta), dan Semadi (mengheningkan cipta). Dengan melakukan latihan rochani , terutama dengan penyelidikan bathin, akan dapat menyadari kesatuan dan menikmati sifat Tuhan yang selalu ada dalam diri kita. Apabila sifat2 Tuhan sudah melekat dalam diri kita maka kita sudah dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa sehingga segala permohonan kita akan dikabulkan dan kita selalu dapat perlindungan dan keselamatan.
3. Kesucian.
Untuk memperoleh pengetahuan suci, dan menghayati Yang Widhi Wasa dalam keberagaman dinyatakan dalam doa Upanishad yang termasyur : Asatoma Satgamaya, Tamasoma Jyothir Gamaya, Mrityorma Amritan Gamaya yang artinya, Tuntunanlah kami dari yang palsu ke yang sejati, tuntunlah kami dari yang gelap ke yang terang, tuntunlah kami dari kematian ke kekalan.
Setiap kita melakukan kegiatan2, kita biasakan untuk memohon tuntunan kehadapan Yang Widhi Wasa agar kita selamat dan selalu dilindungi. Pekerjaan apapun kita lakukan, apabila kita bekerja demi Tuhan dan dipersembahkan kehadapan Yang Widhi Wasa, maka pekerjaan tersebut mempunyai nilai yang sangat tinggi. Dengan menghubungkan pekerjaan tersebut dengan Yang Widhi Wasa, maka ia menjadi suci dan mempunyai kemampuan dan nilai yang tinggi.
Tujuan dari kehidupan kita adalah agar atman terbebas dari triguna dan menyatu dengan Para atman. Didalam Weda disebut yaitu Moksartham Jaga Dhitaya Ca Iti Dharmah yang artinya adalah tujuan agama (Dharma) kita adalah untuk mencapai moksa (moksa artham) dan kesejahteraan umat manusia (jagadhita).
Ciri-ciri orang yang telah mencapai jiwatman mukti adalah.
1. Selalu mendapat ketenangan lahir maupun bathin.
2. Tidak terpengaruh dengan suasana suka maupun duka.
3. Tidak terikat dengan keduniawian.
4. Tidak mementingkan diri sendiri, selalu mementingkan orang lain (masyarakat banyak).
b. Tingkatan- tingkatan Moksa
Untuk mencapai moksa juga mempunyai tingkatan-tingkatan tergantung dari karma (perbuatannya) selama hidupnya apakah sudah sesuai dengan ajaran-ajaran agama Hindu. Tingkatantingkatan seseorang yang telah mencapai moksa dapat dikatagorikan sebagai berikut.
1. Apabila seorang yang sudah mencapai kebebasan rochani dengan meninggalkan mayat disebut Moksa.
2. Apabila seorang yang sudah mencapai kebebasan rochani dengan tidak meninggalkan mayat tetapi meninggalkan bekas2 misalnya abu, tulang disebut Adi Moksa.
3. Apabila seorang yang telah mencapi kebebasan rochani yang tidak meninggalkan mayat serta tidak membekas disebut Parana Moksa.
Moksa ini dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu : Samipya, Sarupya, Salokya dan Sayujya. Adapun penjelasannya masing-masing adalah sebagai berikut :
1.  Samipya adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa hidupnya didunia ini.
2.  Sarupya (sadharmya) adalah suatu kebebasan yang didapat oleh seseorang di dunia ini karena kelahirannya.
3.  Salokya adalah suatu kebebasan yang didapat oleh Atman, dimana atman itu sendiri telah berada dalam posisi dan kesadaran yang sama dengan tuhan.
4.  ayujya adalah suatu tingkat kebebasan yang tertinggi, dimana Atman telah dapat bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa (Brahman). Adapun tingkatan-tingkatan moksa itu, yaitu : Jiwa Mukti, Wideha Mukti (Karma Mukti), Purna Mukti. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
a.       Jiwa Mukti adalah suatu kebebasan yang didapatkan oleh seseorang dalam hidupnya didunia ini, dimana Atman tidak terpengaruh oleh indriya dan usur-unsur dari maya (keduniawian).
b.      Wideha Mukti (Karma Mukti) adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai semasa hidupnya.
c.       Purna Mukti adalah kebebasan yang paling sempurna dan yang tertinggi, dimana Atman telah bersatu dengan Brahman (tuhan).

 Cara Mencapai Moksa
Moksa adalah alam Brahman yang sangat Gaib, dan berada diluar batas pemikiran umat manusia. Yang dimaksud dengan kebebasan dalam pengertian Moksa ialah terlepasnya Atman dari ikatan maya,  sehingga dapat menyatu dengan Brahman. Bagi orang yang telah mencapai Moksa berarti mereka telah mencapai alam Sat Cit Ananda, yaitu kebahagiaan yang tertinggi. Jalan yang ditunjuk oleh ajaran agama untuk mencapai Moksa adalah Catur Marga Yoga yaitu adalah empat jalan yoga untuk mencapai moksa, bagianya adalah:
1.  Bhakti Marga Yoga 
Bhakti Marga Yoga adalah proses atau cara mempersatukan atman dengan brahman dengan berlandaskan atas dasar cinta kasih yang mendalam kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kata “bhakti” berarti hormat, taat, sujud, menyembah, persembahan dan kasih. Seorang Bhakta (orang yang menjalani Bhakti Marga)dengan sujud dan cinta, menyembah dan berdoa dengan pasrah mempersembahkan jiwa raganya sebagai Yajna kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Jadi untuk lebih jelasnya seorang Bhakta akan selalu berusaha melenyapkan kebenciannya kepada semua makhluk. Sebaliknya ia selalu berusaha memupuk dan mengembangkan sifat-sifat maitri, karuna mudita dan upeksa (Catur Paramita).
2.  Karma Marga Yoga 
Karma Marga Yoga adalah jalan ataau cara untuk mencapai Moksa dengan perbuatan atau kebajikan tanpa pamrih. Seorang karmin (orang yang menjalani Karma Marga Yoga) ia akan selalu berpedoman pada Rame ing gawe sepi ing pamrih, yang artinya bekerja keras tanpa menginginkan hasil.
3.  Jnana Marga Yoga 
Jnana artinya kebijaksanaan filsafat (pengetahuan). Yoga bersal dari urat kata Yuj artinya, menghubungkan diri. Jadi, Jnana Marga Yoga artinya, mempersatukan jiwatman dengan paramatman yang dicapai dengan jalan mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat pembebasan diri dari ikatan-ikatan keduniawian. Seorang yang mempelajari ajaran Jnana Marga Yoga disebut Jnanin.
4.  Raja Marga Yoga 
Raja Marga Yoga adalah Suatu jalan mistik (rohani) untuk mencapai kelepasan atau Moksa. Melalui Raja Marga Yoga seseorang akan lebih cepat mencapai Moksa, tetapi tangtangan yang dihadapipun lebih berat. Ada tiga jalanpelaksanaan yang ditempuh oleh para Raja Yogin (orang yang menjalani Raja Marga Yoga), yaitu melaksanakan Tapa Brata, Yoga dan Samadhi. Tapa dan Brata merupakan suatu latihan untuk mengendalikan emosi atau hawa nafsu yang ada dalam diri kita kearah yang positif sesuai dengan arah kitab suci. Sedangkan Yoga dan Samadhi adalah latihan untuk dapat menyatukan Atman dengan Brahman dengan melakukan meditasi atau pemusatan pikiran.
 Seorang yogin akan menghubungkan dirinya memalui Astangga Yoga yaitu Delapan tahapan Yoga untuk mencapai Moksa. Astangga Yoga diajarkan oleh Mara Resi Patanjali dalam bukunya yang disebut Yoga Sutra Patanjali yaitu sebagai berikut
1.      Yama yaitu suatu bentuk larangan yang harus dilakukan seseorang dari segi jasmani. 
2.      Nyama yaitu Pengendalian diri yang lebih bersifat Rohani. 
3.      Asana yaitu Sikap duduk yang menyenangkan, teratur dan disiplin. 
4.      Pranayama yaitu mengatur pernafasan sehingga menjadi sempurna.
5.      Pratyahara yaitu mengontrol dan mengendalikan indriyaa dari ikatan objeknya sehingga orang dapat melihat hal-hal yang suci.
6.      Dharana yaitu usaha-usaha untuk menyatukan pikiran dengan sasaran yang diinginkan.
7.      Dhayana yaitu pemusatan pikiran yang tenang, tidak tergoyahkan pada suatu objek.
8.      Samaddhi yaitu penyatuan Atma.
Oleh sebab itu marilah kita melatih diri untuk melaksanakan ajaran Astangga Yoga dengan tuntutan seorang guru yang telah memiliki kemampuan dalam hal Yoga. Moksa adalah terlepasnya Atman dari belenggu maya (bebas dari pengaruh karma dan punarbhawa) dan akhirnya bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa.