Minggu, 08 November 2015

CERITA SANG WUKU WATUGUNUNG


WUKU WATUGUNUNG


Sabtu Umanis Wuku Watugunung sebagai Hari Suci Sarasawati. 

    Hari suci Wuku Watugunung ini didasarkan oleh suatu Epos dan Ethos, sehingga dapat mempersonifikasikan suatu karakter yang keras, didukung juga dengan kesaksian yang dimiliki. 
Dikisahkan Sang Watugunung adalah seorang anak dari kerajaan Sinta yang rajanya bernama Dewi Sinta, pada suatu hari karena saking nakalnya Sang Watugunung mengakibatkan ibunya marah dan dipukullah kepalanya. Kemudian Sang Watugunung minggat dari rumah, menuju ke Gunung setelah beberapa tahun, maka turunlah Bethara Brahma memberikan panugrahan kesaktian kepadanya.
    Diceritakan dikemudian hari Sang Watugunung membuat kerajaan yang bernama kerajaan Watugunung, dan dengan kesaktiannya itulah Sang Watugunung mulai menaklukkan kerajaan-kerajaan lainnya seperti, Kerajaan LANDEP, Ukir, Kulantir sampai dua puluh sembilan kerajaan termasuk kerajaan Sinta. Karena sama-sama tidak mengetahui diantara Ibu dan Anak, maka diambillah Sang Dewi Sinta sebagai istri oelh Sang WATUGUNUNG. Lama- kelamaan Sang Dewi Sinta mengetahui bahwa, suaminya itu adalah anaknya sendiri, tercenganglah hatinya Dewi Sinta, kemudian Dewi Sinta membuat daya upaya agar bisa berpisah dengananaknya maka Dewi Sinta mengaku telah mengalami proses ngidam, dan yang diidamkan adalah agar Sang Watugunung mau melamar istri Bethara Wisnu, serta menyuntingnya sebagai istri Watugunung.
    Tidak lama kemudian Sang Watugunung pergi ke Wisnu Loka, untuk memohon kehadapan Bethara Wisnu agar diperkenankan menyunting istrinya beliau dengan alasan bahwa istrinya, yakni Dewi Sinta sedang ngidam dan mengidamkan istri Bethara Wisnu sebagai madunya. Akhirnya Bethara Wisnu menjadi murka, maka terjadilah peperangan yang hebat antara Sang Watugunung dengan Bethara Wisnu, kelihatan dalam peperangan tersebut tidak ada yang kalah, sama-sama saktinya.
    Kemudian Bethara Wisnu memohon petunjuk kepada Begawan Sukra, bagaimana cara mengalahkan Sang Watugunung, oleh karena demikian, Begawan Sukra mengutus muridnya yang bernama Begawan LUMANGLANG, untuk mengintai percakapan Sang Watugunung dengan istrinya tentang siapa yang dapat mengalahkan dirinya.
Selanjutnya Begawan Lumanglang melaksanakan tugas dengan merubah dirinya menjadi seekor laba-laba. Akhirnya Begawan Lumanglang mendapatkan rahasia kelemahan Sang Watugunung bahwa, dia dapat dikalahkan oleh kekuatan Wisnu dengan bentuk seekor. “KURMA” ( Penyu ).
    Dengan demikian datanglah Begawan Lumanglang kehadapan Bethara Wisnu untuk melaporkan hasil intaiannya. Akhirnya Bethara Wisnu menantang lagi Sang Watugunung untuk berperang lagi, dan dikisahkan dalam peperangan tersebut Bethara Wisnu berubah menjadi seekor KURMA, maka rubuhlah Sang Watugunung dan jatuh ke bumi pada hari, MINGGU – KLIWON – WUKU WATUGUNUNG, disebutlah hari “Watugunung Runtuh” atau Kajeng Kliwon Pemelas Tali. 
    Sang Watugunung mengaku kalah kepada Bethara Wisnu, dan dia memohon kehadapan Bethara Wisnu bahwa kalau dia jatuh di tengah samudra, mohon diberikan matahari terik agar dia tidak kedinginan, dan bila dia jatuh didaratan, 
mohon diberikan hujan agar dia tidak kepanasan. Berdasarkan isi Epos tersebut maka para orang tua semeton Rare Angon Nak Bali Belog sejak dahulu kala memberikan pengetahuan Agama bahwa kalau pada Wuku Watugunung tidak ada 
hujan berarti Sang Watugunung jatuh ditengah Samudra, demikian sebaliknya. 
       Pada keesokan harinya, yaitu pada hari Senin – Umanis – Wuku Watugunung, disebut hari ” CANDUNG WATANG “, karena Sang Watugunung meninggal dunia pada hari itu, besoknya pada hari Selasa – Pahing – Wuku Watugunung, mayat Sang Watugunung diseret-seret, sehingga disebutlah pada hari itu hari “ PAID-PAIDAN “. Keesokan harinya pada hari Rabu – Pon – Wuku Watugunung Sang Watugunung siuman ( sadarkan diri ) kemudian dilihat hidup oelh Bethara Wisnu, Sang Watugunung dibunuh kembali, maka hari itu disebut hari , ” BUDHA URIP ” atau ” URIP AKEJEP “. 
    Melihat dari keadaan demikian maka Sang Sapta Rsi merasa kasihan kepada Sang Watugunung, dan Beliau kompromi untuk menghidupkan lagi Sang Watugunung, secara bergantian Beliau menghidupkan (nguripang) dan bagian yang pertama adalah Begawan Redite, menghidupkan dengan cara mengucapkan japa mantranya sampai lima kali, baru hidup. Setelah hidup, lagi dibunuh oleh Bethara Wisnu, selanjutnya Begawan Soma menghidupkan dengan mengucapkan mantra sampai empat kali baru hidup, dibunuh lagi oleh Bethara Wisnu, kemudian Begawan Anggara menghidupkan dengan ucapan mantra sebanyak tiga kali, dibunuh lagi, selanjutnya Begawan Budha yang menghidupkan dengan ucapan mantra sebanyak tujuh kali, dibunuh lagi oleh Bethara Wisnu, akhirnya datang Begawan Wrespati untuk mengucapkan mantra pengurip sebanyak delapan kali, dibunuh juga oleh Bethara Wisnu.Yang terakhir datanglah Begawan Sukra menghadapa kehadapan Bethara Wisnu serta memohon kepada Beliau agar tidak melakukan perbuatan ” HIMSA KARMA “, karena Beliau adalah seorang Dewa, harus mau mengampuni dan tetap memberikan sinar welas asihnya kepada semua insan di Alam Semesta ini. Atas nasehat Begawan Sukra demikian, maka Bethara Wisnu menyadari bahwa manusia memiliki kemampuan yang terbatas, oleh karena itu dianugrahkanlah Begawan Sukra untuk menghidupkan Sang Watugunung selamanya, kemudian Begawan Sukra mengucapkan mantra pengurip sebanyak enam kali, maka hiduplah kembali Sang Watugunung, dan hari itu disebut ” URIP KULANTAS “, jatuh pada hari Kamis – Wage – Wuku Watugunung.
       Dari saat itulah kesombongan Sang Watugunung mulai pudar, serta mulai bertobat pada dirinya untuk selama- lamanya. Pada keesokan harinya, pada hari Jumat – Keliwon - Wuku Watugunung Sang Watugunung mulai menyucikan diri, melaksanakan Tapa, Brata, Yoga, Samadhi untuk memohon pengampunan, dan memohon kepradnyanan kehadapan Sang Hyang Widhi serta hari itu disebut dengan ” PENGEREDANAN “. Karena teguhnya Sang Watugunung melaksanakan Tapa bratanya, maka keesokan harinya yaitu pada hari Sabtu – Umanis – Wuku Watugunung, dianugrahkan Ilmu Pengetahuan oleh Sang Hyang Widhi, maka pada hari itu disebut dengan HARI SUCI SARASWATI “. Semeton Rare Angon Nak Bali Belog, Saraswati berasal dari suku kata ” SARA _ SU _ WATI “, Suku kata SARA dapat diartikan PANAH dan kata panah berasal dari kata ” BANA “, kemudian menjadi kata ” BANAH “, yang dapat diberikan arti , ” KETAJAMAN ADNYANA ” atau KECERDASAN ( Kamus- Bali- Kawi ). Suku kata ” SU ” mengandung arti ” LUWIH ” dan suku kata ” WATI ” dapat diartikan ” AYU “. Dengan demikian makna dari hari Suci Saraswati adalah ” AMOLIHAKEPRADNYANAN SANE MAUTAMA, PACANG ANGGEN NGEMOLIHANG KASUKERTHAN “.

            Maksudnya dengan dianugrahkan kecerdasan oleh Sang Hyang Widhi, maka manusia tersebut akan mampu menolong dirinya sendiri, dari lembah kesengsaraan serta berwawasan kebijaksanaan sehingga mampu memilah-milah mana yang benar dan tidak benar, diantara kebajikan dan keburukan.

Adapun nama wuku-wuku yang dimaksud adalah:
1. Sinta,11. Galungan,21. Matal,
2. Landep,12. Kuningan,22. Wuje,
3. Ukir-,13. Langkir23. Manail,
4. Kurantil,14. Mandasiya,24. Prangbakat,
5. Tolu,15. Julungpujut,25. Bala,
6. Gumbreg,16. Pahang,26. Ugu,
7. Wariga,17. Kuruwelut,27. Wayang,
8. Warigadian18. Marakeh,28. Kulawu,
9. Julungwangi,19. Tambir,29. Dhukut,
10. Sungsang,20. Madangkungan,30. Watugunung.
Adapun Dewa-dewa ketigapuluh wuku itu adalah:
1. Yamadipati,11. Kamajaya,21. Sakri,
2. Mahadewa12. Endra,22. Kuwera,
3. Mahayekti,13. Barawa (Kala),23. Citragotra,
4. Langsur,14. Brama,24. Resi Bisma,
5. Bayu,15. Guritna,25. Betari Durga,
6. Cakra,16. Tantra,26. Singajalma,
7. Asmara,17. Wisnu,27. Betari Sri,
8. Mahayekti,18. Surengga28. Betara Sadana,
9. Sambu,19. Siwah,29. Sakri,
10. Gana,20. Basuki,30. Sang Hyang Antaboga dan Dewi Nagagini,