Senin, 08 September 2014

"Tumpek Wayang" Dalam Kehidupan dan Budaya Bali

           TUMPEK WAYANG    



      Makna Hari Tumpek Wayang Dalam Kehidupan dan Budaya Bali Ada sebuah fenomena menarik di Bali berkenaan tentang kelahiran anak pada hari yang dianggap keramat yaitu pada waktu wuku Wayang.
                       Fenomena tersebut diyakini oleh orang Bali bahwa yang dilahirkan pada hari tersebut patutlah diupacarai lukatan (ruwatan) besar yang disebut Sapuh Leger. Bagi anak yang diupacarai lahir bertepatan dengan waktu itu dimaksudkan supaya ia terhindar dari gangguan (buruan) Dewa Kala.
                     Menurut lontar Sapuh Leger dan Dewa Kala, Batara Siwa memberi izin kepada Dewa Kala untuk memangsa anak/orang yang dilahirkan pada wuku Wayang (cf. Gedong Kirtya, Va. 645).

                    Atas dasar isi lontar tersebut, apabila diantara anaknya ada yang dilahirkan pada wuku Wayang, demi keselamatan anaknya itu, semeton Bali berusaha mengupacarainya dengan didahului mementaskan Wayang Sapuh Leger berikut aparatusnya dipersiapkan jauh lebih banyak (berat) dari perlengkapan sesajen jenis wayang lainnya.
                  Tumpek Wayang adalah manifestasi Sanghyang Iswara yang berfungsi untuk menerangi kegelapan, memberikan pencerahan ke hidupan di dunia serta mampu membangkitkan daya seni dan keindahan. Tiap anak yang lahir pada Tumpek Wayang, terutama pada Saniscara Kliwon Tumpek Wayang akan diadakan pergelaran Wayang Sapuh Leger.
                  Kedudukan hari-hari tersebut secara spasial sangat sakral karena merupakan rentetan terakhir dari tumpek yang menurut anggapan orang Bali adalah angker dan berbahaya, karena hari itu dikuasai oleh butha dan kala.
                  Secara mitologis wuku Wayang dianggap sebagai salah satu wuku yang tercemar/kotor, karena pada waktu inilah lahirnya seorang raksasa bernama Dewa Kala sebagai akibat pertemuan (sex relation) yang tidak wajar antara Batara Siwa dan istrinya, Dewi Uma.
                Mereka melakukan tidak pada tempatnya yang disebut kama salah. Dari karakteristik hari-hari tersebut, masyarakat Bali percaya bahwa setiap anak yang lahir pada wuku Wayang harus mendapatkan penyucian yang khusus dengan upacara sapuh leger serta menggelar wayang.
                  Pertunjukan wayang kulit yang ada sampai saat ini kenyataannya tidak dapat dilepaskan dengan upacara ritual dengan cerita mitologi. Hal ini dikisahkan karena isinya dianggap bertuah dan berguna bagi kehidupan lahir dan batin yang dipercayai serta dijunjung tinggi oleh pendukungnya.
                   Tumpek (seperti membaca : sumpek) terdiri dari dua suku kata "tum" yang artinya kesucian dan "pek" yang artinya putus atau terakhir. Jadi "tumpek" adalah hari suci yang jatuh pada penghujung akhir Saptawara dan pancawara seperti Saniscara Kliwon Wayang disebutlah Tumpek wayang.
                   Tumpek Wayang juga bermakna ''hari kesenian'' karena hari itu secara ritual diupacarai (kelahiran) berbagai jenis kesenian seperti wayang, barong, rangda, topeng, dan segala jenis gamelan.
                   Aktivitas ritual tersebut sebagai bentuk rasa syukur terhadap Sang Hyang Taksu sering disimboliskan dengan upacara kesenian wayang kulit, karena ia mengandung berbagai unsur seni atau teater total. Dalam kesenian ini, semua eksistensi dan esensi kesenian sudah tercakup.
                   Tumpek wayang merupakan cerminan dimana dunia yang diliputi dengan kegelapan, kebodohan, keangkuhan, dan keangkaramurkaan.
                   Oleh sebab itu Dewa Siwa pun mengutus Sanghyang Samirana turun ke dunia untuk memberikan kekuatan kepada manusia yang nantinya sebagai mediator di dalam menjalankan aktifitasnya.
                  Orang yang menjadi mediator inilah disebut seorang Dalang atau Samirana. Sanghyang Iswara juga memberikan kekuatan seorang Dalang sehingga mampu membangkitkan cita rasa seni dan daya tarik yang mampu memberikan sugesti kepada orang lain yaitu para penontonnya.
                  Kekuatan inilah yang disebut dengan taksu maupun raganya, karena didalam pementasan wayang kulit, seorang Dalang mampu menyampaikan cerita yang penuh dengan filsafat humor, kritik, saran, serta realita kehidupan sehari-hari sehingga para penonton membius alam pikirannya dan muncullah kekuatan sugesti dari diri masing-masing.
                  Oleh karena itu kehidupan umat manusia di dunia sesungguhnya tidak hanya memelihara fisik semata namun perlu keseimbangan antara fisik dan mental spiritual yang mana banyak tercermin di dalam pelaksanaan atau perayaan Tumpek Wayang bagi umat Hindu yang dirayakan setiap enam bulan (dua ratus sepuluh hari).
                 Makna dari Tumpek Wayang, sebagaimana kita ketahui kehidupan di dunia selalu diliputi oleh dua kekuatan yang disebut Ruwa Bineda, yang sudah barang tentu ada pada sisi kehidupan manusia .
                  Dengan bercermin dari tatwa, filsafat agama mampu membawa kehidupan manusia menjadi lebih bermartabat. Karena dari ajaran atau filsafat agama mampu akan memberikan pencerahan kepada pikiran yang nantinya mampu pula menciptakan moralitas seseorang menjadi lebih baik dari segi aktifitas agama se hari hari kita mendapatkan air cuci ke hidupan melalui tirta pengelukatan yang berfungsi untuk meruak atau melebur dosa di dalam tubuh manusia, maka dari itu seorang Dalanglah yang mendapat anugerah untuk melukat diri manusia baik alam pikirannya maupun raganya.