Senin, 13 Oktober 2014

"Tumpek Landep" Pada kehidupan Umat Hindhu

               
TUMPEK LANDEP




Hari raya Tumpek Landep sendiri merupakan rentetan setelah hari raya saraswati, dimana pada hari ini umat hindu melakukan puji syukur atas berkah yang telah diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Ida Bhatara Sang Hyang Pasupati.
                  Perbedaan hari raya Saraswati dengan hari raya Tumpek Landep adalah dimana pada saat hari raya Saraswati umat hindu melakukan puji syukur atas turunnya ilmu pengetahuan dimana diimplementasikan dengan mengupacari berbagai sumber-sumber ilmu pengetahuan, seperti buku, lontar, prasasti dan berbagai sumber-sumber sastra dan ilmu pengetahuan lainnya.
                 Sedangkan pada hari raya Tumpek Landep lebih mengucapkan puji syukur kepada Ida Bhatara Sang Hyang Pasupati yang telah menganugrahi kecerdasan dan ketajaman pikiran kepada manusia yang mana dari pikiran-pikiran tersebut melahirkan daya cipta rasa dan karsa manusia dalam menciptakan sesuatu (output) yang dapat mempermudah kehidupannya untuk mencapai kebahagiaan.
               Hari raya tumpek landep jatuh setiap Saniscara/hari sabtu Kliwon wuku Landep, sehingga secara perhitungan kalender Bali, hari raya ini dirayakan setiap 210 hari sekali.
               Kata Tumpek sendiri berasal dari “Metu” yang arinya bertemu, dan “Mpek” yang artinya akhir, jadi Tumpek merupakan hari pertemuan wewaran Panca Wara dan Sapta Wara, dimana Panca Wara diakhiri oleh Kliwon dan Sapta Wara diakhiri oleh Saniscara (hari Sabtu).
              Sedangkan Landep sendiri berarti tajam atau runcing, maka dari ini diupacarai juga beberapa pusaka yang memiliki sifat tajam seperti keris. Dalam perkembangan zaman dan teknologi, perayaan hari raya Tumpek Landep tidak hanya mengupacarai benda-benda sakral/pusaka seperti keris dan peralatan persenjataan, melainkan juga benda-benda lain yang memiliki manfaat positif yang memberikan kemudahan dalam segala aktivitas dan kehidupan manusia.
             Adapun benda-benda tambahan yang juga sering kita lihat diupacarai para hari tumpek landep ini antara lain : motor, mobil, sepeda, computer, laptop, mesin pabrik, dan benda-benda lainnya.
            Bagi umat hindu di Bali, senjata yang paling utama dalam kehidupan ini adalah pikiran, karena pikiranlah yang mengendalikan semuanya yang ada.
            Semua yang baik dan yang buruk dimulai dari pikiran, maka dari itu dalam perayaan hari Tumpek Landep ini kita diharapkan agar senantiasa menajamkan pikiran lewat kecerdasan dan mengendalikan pikiran lewat norma-norma agama dan budaya.
            Begitu tingginya filosofi orang-orang Bali yang sangat memaknai segala sesuatu yang ada di dalam kehidupannya. Ini juga yang membuat Bali dikenal sangat unik dan eksotis bagi orang-orang yang pernah mengunjunginya. Hendaknya budaya-budaya nusantara seperti inilah yang sepatutnya kita lestarikan sebagai bentuk warisan para leluhur, yang menunujukkan jati diri dan karakter bangsa di tanah Nusantara. Semoga segala pikiran yang baik datang dari segala penjuru.

Senin, 08 September 2014

"Tumpek Wayang" Dalam Kehidupan dan Budaya Bali

           TUMPEK WAYANG    



      Makna Hari Tumpek Wayang Dalam Kehidupan dan Budaya Bali Ada sebuah fenomena menarik di Bali berkenaan tentang kelahiran anak pada hari yang dianggap keramat yaitu pada waktu wuku Wayang.
                       Fenomena tersebut diyakini oleh orang Bali bahwa yang dilahirkan pada hari tersebut patutlah diupacarai lukatan (ruwatan) besar yang disebut Sapuh Leger. Bagi anak yang diupacarai lahir bertepatan dengan waktu itu dimaksudkan supaya ia terhindar dari gangguan (buruan) Dewa Kala.
                     Menurut lontar Sapuh Leger dan Dewa Kala, Batara Siwa memberi izin kepada Dewa Kala untuk memangsa anak/orang yang dilahirkan pada wuku Wayang (cf. Gedong Kirtya, Va. 645).

                    Atas dasar isi lontar tersebut, apabila diantara anaknya ada yang dilahirkan pada wuku Wayang, demi keselamatan anaknya itu, semeton Bali berusaha mengupacarainya dengan didahului mementaskan Wayang Sapuh Leger berikut aparatusnya dipersiapkan jauh lebih banyak (berat) dari perlengkapan sesajen jenis wayang lainnya.
                  Tumpek Wayang adalah manifestasi Sanghyang Iswara yang berfungsi untuk menerangi kegelapan, memberikan pencerahan ke hidupan di dunia serta mampu membangkitkan daya seni dan keindahan. Tiap anak yang lahir pada Tumpek Wayang, terutama pada Saniscara Kliwon Tumpek Wayang akan diadakan pergelaran Wayang Sapuh Leger.
                  Kedudukan hari-hari tersebut secara spasial sangat sakral karena merupakan rentetan terakhir dari tumpek yang menurut anggapan orang Bali adalah angker dan berbahaya, karena hari itu dikuasai oleh butha dan kala.
                  Secara mitologis wuku Wayang dianggap sebagai salah satu wuku yang tercemar/kotor, karena pada waktu inilah lahirnya seorang raksasa bernama Dewa Kala sebagai akibat pertemuan (sex relation) yang tidak wajar antara Batara Siwa dan istrinya, Dewi Uma.
                Mereka melakukan tidak pada tempatnya yang disebut kama salah. Dari karakteristik hari-hari tersebut, masyarakat Bali percaya bahwa setiap anak yang lahir pada wuku Wayang harus mendapatkan penyucian yang khusus dengan upacara sapuh leger serta menggelar wayang.
                  Pertunjukan wayang kulit yang ada sampai saat ini kenyataannya tidak dapat dilepaskan dengan upacara ritual dengan cerita mitologi. Hal ini dikisahkan karena isinya dianggap bertuah dan berguna bagi kehidupan lahir dan batin yang dipercayai serta dijunjung tinggi oleh pendukungnya.
                   Tumpek (seperti membaca : sumpek) terdiri dari dua suku kata "tum" yang artinya kesucian dan "pek" yang artinya putus atau terakhir. Jadi "tumpek" adalah hari suci yang jatuh pada penghujung akhir Saptawara dan pancawara seperti Saniscara Kliwon Wayang disebutlah Tumpek wayang.
                   Tumpek Wayang juga bermakna ''hari kesenian'' karena hari itu secara ritual diupacarai (kelahiran) berbagai jenis kesenian seperti wayang, barong, rangda, topeng, dan segala jenis gamelan.
                   Aktivitas ritual tersebut sebagai bentuk rasa syukur terhadap Sang Hyang Taksu sering disimboliskan dengan upacara kesenian wayang kulit, karena ia mengandung berbagai unsur seni atau teater total. Dalam kesenian ini, semua eksistensi dan esensi kesenian sudah tercakup.
                   Tumpek wayang merupakan cerminan dimana dunia yang diliputi dengan kegelapan, kebodohan, keangkuhan, dan keangkaramurkaan.
                   Oleh sebab itu Dewa Siwa pun mengutus Sanghyang Samirana turun ke dunia untuk memberikan kekuatan kepada manusia yang nantinya sebagai mediator di dalam menjalankan aktifitasnya.
                  Orang yang menjadi mediator inilah disebut seorang Dalang atau Samirana. Sanghyang Iswara juga memberikan kekuatan seorang Dalang sehingga mampu membangkitkan cita rasa seni dan daya tarik yang mampu memberikan sugesti kepada orang lain yaitu para penontonnya.
                  Kekuatan inilah yang disebut dengan taksu maupun raganya, karena didalam pementasan wayang kulit, seorang Dalang mampu menyampaikan cerita yang penuh dengan filsafat humor, kritik, saran, serta realita kehidupan sehari-hari sehingga para penonton membius alam pikirannya dan muncullah kekuatan sugesti dari diri masing-masing.
                  Oleh karena itu kehidupan umat manusia di dunia sesungguhnya tidak hanya memelihara fisik semata namun perlu keseimbangan antara fisik dan mental spiritual yang mana banyak tercermin di dalam pelaksanaan atau perayaan Tumpek Wayang bagi umat Hindu yang dirayakan setiap enam bulan (dua ratus sepuluh hari).
                 Makna dari Tumpek Wayang, sebagaimana kita ketahui kehidupan di dunia selalu diliputi oleh dua kekuatan yang disebut Ruwa Bineda, yang sudah barang tentu ada pada sisi kehidupan manusia .
                  Dengan bercermin dari tatwa, filsafat agama mampu membawa kehidupan manusia menjadi lebih bermartabat. Karena dari ajaran atau filsafat agama mampu akan memberikan pencerahan kepada pikiran yang nantinya mampu pula menciptakan moralitas seseorang menjadi lebih baik dari segi aktifitas agama se hari hari kita mendapatkan air cuci ke hidupan melalui tirta pengelukatan yang berfungsi untuk meruak atau melebur dosa di dalam tubuh manusia, maka dari itu seorang Dalanglah yang mendapat anugerah untuk melukat diri manusia baik alam pikirannya maupun raganya.

Minggu, 24 Agustus 2014

Hari Raya Kuningan Umat Hindhu

                Hari Raya Kuningan diperingati setiap 210 hari atau 6 bulan sekali dalam kalender Bali tepatnya pada Saniscara Kliwon Wuku Kuningan. (1 bulan dalam kalender Bali = 35 hari).
                 Di hari Raya Kuningan yang suci ini diceritakan Ida Sang Hyang Widi turun ke dunia untuk memberikan berkah kesejahteraan buat seluruh umat di dunia. Masyarakat Hindu di Bali yakini, pelaksanaan upacara pada hari raya Kuningan sebaiknya dilakukan sebelum tengah hari, sebelum waktu para Dewa, Bhatara, dan Pitara kembali ke sorga. Hari raya Kuningan adalah rangkaian upacara Galungan, 10 hari sebelum Kuningan.
                 Ada beberapa perlengkapan Hari Kuningan yang khas yaitu: Endongan sebagai simbol persembahan kepada Hyang Widhi. Tamyang sebagai simbol penolak malabahaya. Kolem sebagai simbol tempat peristirahatan hyang Widhi, para Dewa dan leluhur kita.
                 Pada hari Raya ini dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terima kasih kita sebagai umat manusia atas anugrah yang telah diberikan Hyang Widhi, sesajen itu berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya.  
                Tamyang ini mengingatkan manusia pada hukum alam, bila alam lingkungan kita jaga dan pelihara itu semua akan mendatangkan anugerah dan kemakmuran, namun sebaliknya bila alam dirusak akan menimbulkan bencana dan petaka buat kita dan umat manusia. Sedangkan endongan bermakna perbekalan.
               Bekal yang paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan bhakti Oleh karena itu melalui perayaan Hari Kuningan ini umat Hindu khususnya di bali, diharapkan mampu menata kembali kehidupan yang harmonis (hita) sesuai dengan tujuan yang telah di gariskan oleh Hyang Widhi. Seluruh umat Hindu yang ada di Bali melakukan upacara adat Hari Raya Kuningan ini tidak di wajibkan melaksanakannya di pura, apa lagi bila jarak pura terlalu jauh dari tempat tinggal.  
               Pelaksanaan upacara ini bisa dilakukan juga dirumah mengingat waktu nya yang terlalu singkat, kebiasaaan ini menjadi salah satu adat yang terus dilestarikan hingga saat ini,
              Pada hari Rabu, Kliwon, wuku Pahang, disebut dengan hari Pegat Wakan yang merupakan hari terakhir dari semua rangkaian Hari Raya Galungan-Kuningan.
             Sesajen yang dihaturkan pada hari ini yaitu sesayut Dirgayusa, panyeneng, tatebus kehadapan Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta bumi dan alam seisinya.
              Dengan demikian berakhirlah semua rangkaian hari raya Galungan-Kuningan selama 42 hari. Jadi inti dan makna dari Hari Raya Kuningan itu sendiri adalah memohon keselamatan, kemakmuran,kesejahteraan, perlindungan juga tuntunan lahir-bathin kepada para Dewa, Bhatara, dan para Pitara agar semua yang diinginkan bisa terkabul dan terlaksana seijin Hyang Widhi.